Kerajaan Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513 – 1515), menyebutkan batas wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut:
“ Sementara orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga Pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling Pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Ci Manuk. ”
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Sejarah
Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
Kerajaan kembar
Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.
Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah.
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora.
Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya Rarkyan Panaraban (Tamperan). Di Kalingga Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran. Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya; Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh, serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.
Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tetapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).
Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).
Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Airlangga (1019-1042).
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur saat Perang Bubat. Karena saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).
Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis.
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja. Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, mengakibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.
Raja-raja Kerajaan Sunda-Galuh s/d Pajajaran
Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
4. Rakeyan Banga (739 - 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
15. Munding Ganawirya (964 - 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
17. Brajawisésa (989 - 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
Hubungan dengan kerajaan lain
Singasari
Dalam Nagarakretagama, disebutkan bahwa setelah Kertanagara menaklukkan Bali (1206 Saka), kerajaan-kerajaan lain turut bertekuk lutut, tidak terkecuali Sunda. Jika ini benar, adalah aneh jika di kemudian hari, kerajaan Majapahit sebagai penerus yang kekuasaannya lebih besar justru tidak menguasai Sunda, sehingga termuat dalam sumpahnya Gajah Mada.
[sunting] Eropa
Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Inggris, Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda malah pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon (yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).
Sabtu, 05 November 2011
KALENDER SUNDA
Udah pernah denger tentang kalender Sunda? Sekarang ini lagi digiatkan loh tentang Kalender yang sudah terkubur dan terlupakan oleh orang sunda dan dunia. Sistem kalender Sunda mengenal dua macam sistem. Yaitu sistem Candrakala dan Suryakala atau Perhitungan bulan dan perhitungan matahari. Di kalender ini juga mengenal yang namanya tahun pendek dan tahun panjang. Untuk tahun pendek berisi Surya 365 hari; Candra 354 hari sedang kalau tahun panjang berisi Surya 366 hari; Candra 355 hari.
Kala Surya Saka Sunda (Tahun Surya) mengenal aturan, “tiga tahun pendek, keempatnya tahun panjang. Akan tetapi, setiap tahun yang habis dibagi 128, dijadikan tahun pendek. Akhir tahun Surya adalah ketika matahari berada di titik paling selatan”.
Kala Candra Caka Sunda (Tahun Candra) punya aturan bahwa “dalam sewindu (8 tahun), tahun ke-2, ke-5, dan ke-8 adalah tahun panjang, sisanya tahun pendek. Setiap tahun ke-120 dijadikan tahun pendek. Setiap tahun yang habis dibagi 2.400 dijadikan tahun panjang”. Kala Candra (yang dipakai dalam sistem penanggalan Sunda) memiliki keistimewaan tersendiri, yakni “ciples”. Artinya, jika awal windu (biasa disebut indung poe) Senen Manis, maka akhirnya adalah Ahad Kaliwon. Keistimewaan lainnya, indung poe baru berganti setelah 120 tahun, mulai dari Senen Manis, Ahad Kaliwon, Saptu Wage, Jumaah Pon, Kemis Pahing, Rebo Manis, Salasa Kaliwon, hingga terakhir Rebo Pahing. Jika dihitung, “kejadian” itu berlangsung dalam waktu 84.000 tahun. Artinya, pada tahun ke-84.001, indung poe kembali kepada Senen Manis. Dalam perjalanan 84.000 tahun itu, sistem penanggalan Sunda juga mengenal “Dewa Taun”, yakni hari pertama dan terakhir setiap kurun waktu 2.400 tahun.
Kita biasa mengenal dibawah tanggal dikalender kita ada kata - kata seperti Wage, Kliwon, Legi, Pahing, dan Pon. Dan sudah kita ketahui itu adalah struktur dari Kalender Jawa. Dan ternyata struktur hari di Jawa dan Sunda sangat berbeda meskipun memiliki kesamaan kata yaitu: Manis, Pahing, Pon, Wage, Kaliwon udah tahu dimana bedanya??? Yap, Legi dan Manis. di Jawa ada Legi di Sunda ada Manis.
Lalu bagaimana nama hari yang biasa kita kenal dengan Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum'at, Sabtu dan Minggu? Ternyata Kalender Sunda memiliki nama sendiri untuk tiap nama hari dalam satu pekan. yaitu:
- Senin : Soma
- Selasa : Anggara
- Rabu : Buda
- Kamis : Respati
- Jumaah : Sukra
- Sabtu : Tumpek
- Ahad/Minggu : Radite/Dite
Jadi Hari ini adalah tanggal 19 Desember 2010 dalam kalender Sunda adalah Radite-Pon 5s Margasira 1947 Candra Kala Sunda.
Bulan dalam Kalender Sunda sebenarnya seperti di Horoskop, yaitu:
* November - Desember 2010 : Kartika
* Desember - Januari 2011 : Margasira
* Januari - Februari 2011 : Posya
* Februari - Maret 2011 : Maga
* Maret - April 2011 : Palguna
* April - Mei 2011 : Setra
* Mei - Juni 2011 : Wesaka
* Juni - Juli 2011 : Asada
* Juli - Agustus 2011 : Yesta
* Agustus - September 2011 : Srawana
* September - Oktober 2011 : Badra
* Oktober - November 2011 : Asuji
Berati kalau kita lahir pada tanggal 3 Januari, di tahun 2011 jatuh pada Kala Sunda, jatuh pada tanggal Soma-Pon 5k Margasira 1947 Candra Kala Sunda. wow!! Ada yang tertarik untuk mengetahui tanggal lahir di Kala Sunda?
Kamis, 03 November 2011
AKSARA SUNDA
Pernah dengar tentang Aksara Sunda? Pasti sebagian dari pembaca pernah belajar tentang apa itu Aksara Sunda. Khususnya bagi yang memang asli dari suku Sunda. Aksara Sunda ini merupakan salah satu warisan budaya Sunda yang harus dilestarikan. Sebenarnnya masyarakat Sunda sudah mengenal tulisan sejak abad IV yang dikenal dengan Aksara Sunda. Namun karena awal kekuasaan masa koloni, sehingga masyarakat Sunda harus merelakan kebudayaannya itu punah.
Pada akhir Abad XIX sampai pertengahan Abad XX, para peneliti berkebangsaan asing (misalnya K. F. Holle dan C. M. Pleyte) dan bumiputra (misalnya Atja dan E. S. Ekadjati) mulai meneliti keberadaan prasasti-prasasti dan naskah-naskah tua yang menggunakan Aksara Sunda Kuna. Berdasarkan atas penelitian-penelitian sebelumnya, pada akhir Abad XX mulai timbul kesadaran akan adanya sebuah Aksara Sunda yang merupakan identitas khas masyarakat Sunda. Oleh karena itu Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat menetapkan Perda No. 6 tahun 1996 tentang Pelestarian, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda yang kelak digantikan oleh Perda No. 5 tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah.
Pada tanggal 21 Oktober 1997 diadakan Lokakarya Aksara Sunda di Kampus UNPAD Jatinangor yang diselenggarakan atas kerja sama Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dengan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Kemudian hasil rumusan lokakarya tersebut dikaji oleh Tim Pengkajian Aksara Sunda. Dan akhirnya pada tanggal 16 Juni 1999 keluar Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 343/SK.614-Dis.PK/99 yang menetapkan bahwa hasil lokakarya serta pengkajian tim tersebut diputuskan sebagai Aksara Sunda Baku.
Nah, Aksara Sunda Baku inilah yang kita kenal sekarang. Seperti tulisan-tulisan yang sering kita jumpai pada nama jalan di Bandung. Aksara Sunda ini juga digunakan pada papan nama Museum Sri Baduga.
Sumber: Wikipedia.com
Nah, sekarang yuk, kita belajar mengenal Aksara Sunda. Pada dasarnya Aksara Sunda terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok huruf konsonan dan kelompok huruf vokal. Tulisan yang merupakan salah satu warisan kebudayaan Sunda ini juga memiliki dua jenis, yaitu Aksara Sunda Kuno dan Aksara Sunda Baku. Seperti gambar-gambar di bawan ini.
Dalam penulisan Aksara ini juga perlu memperhatikan beberapa tanda yang memang merupakan kesatuan dengan aksaranya itu sendiri. Ada beberapa tanda yang telah dirangkum seperti berikut:
a. Tanda pengganti bunyi vokal
1. Tanda pengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'i'.
Tanda ini digunakan apabila ingin mengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'i'. Dengan menuliskannya di atas huruf yang diinginkan.
2. Tanda pengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'u'.
Tanda ini digunakan apabila ingin mengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'u'. Dengan menuliskannya di bawah huruf yang diinginkan.
3. Tanda pengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'é'.
Tanda ini digunakan apabila ingin mengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'é'. Dengan menuliskannya di depan huruf yang diinginkan.
4. Tanda pengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'o'.
Tanda ini digunakan apabila ingin mengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'o'. Dengan menuliskannya di belakang huruf yang diinginkan.
5. Tanda pengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'e'.
Tanda ini digunakan apabila ingin mengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'e'. Dengan menuliskannya di atas huruf yang diinginkan.
6. Tanda pengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'eu'.
Tanda ini digunakan apabila ingin mengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'eu'. Dengan menuliskannya di atas huruf yang diinginkan.
7. Tanda pengghilang bunyi vokal.
Tanda yang satu ini digunakan apabila ingin menghilangkan bunyi vokal pada suatu huruf. Dalam bahasa sunda tanda ini disebut pamaeh. Dengan menuliskannya dibelakang huruf yang diinginkan.
Bukan hanya itu, ada juga tanda-tanda yang digunakan sebagai penambah bunyi konsonan.
Seperti dibawah ini.
b. Tanda penambah Bunyi konsonan.
1. Tanda penambah bunyi 'ng'.
Apabila saat menuliskan aksara Sunda ada kata yang berakhiran 'ng' seperti 'kang', bisa hanya dengan menambahkan tanda ini. Dengan cara menuliskannya di bagian atas huruf yang diinginkan.
2. Tanda penambah bunyi '-r'.
Apabila saat menuliskan aksara Sunda ada kata yang berakhiran '-r' seperti 'kar', bisa hanya dengan menambahkan tanda ini. Dengan cara menuliskannya di bagian atas huruf yang diinginkan.
3. Tanda penambah bunyi '-r-'.
Apabila ingin menambah huruf 'r' ditengah huruf lain seperti 'kra', bisa hanya dengan menambahkan tanda ini. Dengan cara menuliskannya di bagian bawah huruf yang diinginkan.
4. Tanda penambah bunyi '-l-'.
Apabila ingin menambah huruf 'l' ditengah huruf lain seperti 'kla', bisa hanya dengan menambahkan tanda ini. Dengan cara menuliskannya di bagian bawah huruf yang diinginkan.
5. Tanda penambah bunyi '-y-'.
Apabila ingin menambah huruf 'y' ditengah huruf lain seperti 'kya', bisa hanya dengan menambahkan tanda ini. Dengan cara menuliskannya di bagian bawah huruf yang diinginkan.
6. Tanda penambah bunyi '-h'.
Apabila saat menuliskan aksara Sunda ada kata yang berakhiran '-h' seperti 'kah', bisa hanya dengan menambahkan tanda ini. Dengan cara menuliskannya di bagian belakang atas huruf yang diinginkan.
Nah, sekarang udah kenal kan sama Aksara Sunda?. Nggak kalah keren kok sama huruf-huruf negara tetangga kita.
Pada akhir Abad XIX sampai pertengahan Abad XX, para peneliti berkebangsaan asing (misalnya K. F. Holle dan C. M. Pleyte) dan bumiputra (misalnya Atja dan E. S. Ekadjati) mulai meneliti keberadaan prasasti-prasasti dan naskah-naskah tua yang menggunakan Aksara Sunda Kuna. Berdasarkan atas penelitian-penelitian sebelumnya, pada akhir Abad XX mulai timbul kesadaran akan adanya sebuah Aksara Sunda yang merupakan identitas khas masyarakat Sunda. Oleh karena itu Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat menetapkan Perda No. 6 tahun 1996 tentang Pelestarian, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda yang kelak digantikan oleh Perda No. 5 tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah.
Pada tanggal 21 Oktober 1997 diadakan Lokakarya Aksara Sunda di Kampus UNPAD Jatinangor yang diselenggarakan atas kerja sama Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dengan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Kemudian hasil rumusan lokakarya tersebut dikaji oleh Tim Pengkajian Aksara Sunda. Dan akhirnya pada tanggal 16 Juni 1999 keluar Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 343/SK.614-Dis.PK/99 yang menetapkan bahwa hasil lokakarya serta pengkajian tim tersebut diputuskan sebagai Aksara Sunda Baku.
Nah, Aksara Sunda Baku inilah yang kita kenal sekarang. Seperti tulisan-tulisan yang sering kita jumpai pada nama jalan di Bandung. Aksara Sunda ini juga digunakan pada papan nama Museum Sri Baduga.
Sumber: Wikipedia.com
Nah, sekarang yuk, kita belajar mengenal Aksara Sunda. Pada dasarnya Aksara Sunda terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok huruf konsonan dan kelompok huruf vokal. Tulisan yang merupakan salah satu warisan kebudayaan Sunda ini juga memiliki dua jenis, yaitu Aksara Sunda Kuno dan Aksara Sunda Baku. Seperti gambar-gambar di bawan ini.
Dalam penulisan Aksara ini juga perlu memperhatikan beberapa tanda yang memang merupakan kesatuan dengan aksaranya itu sendiri. Ada beberapa tanda yang telah dirangkum seperti berikut:
a. Tanda pengganti bunyi vokal
1. Tanda pengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'i'.
Tanda ini digunakan apabila ingin mengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'i'. Dengan menuliskannya di atas huruf yang diinginkan.
2. Tanda pengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'u'.
Tanda ini digunakan apabila ingin mengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'u'. Dengan menuliskannya di bawah huruf yang diinginkan.
3. Tanda pengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'é'.
Tanda ini digunakan apabila ingin mengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'é'. Dengan menuliskannya di depan huruf yang diinginkan.
4. Tanda pengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'o'.
Tanda ini digunakan apabila ingin mengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'o'. Dengan menuliskannya di belakang huruf yang diinginkan.
5. Tanda pengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'e'.
Tanda ini digunakan apabila ingin mengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'e'. Dengan menuliskannya di atas huruf yang diinginkan.
6. Tanda pengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'eu'.
Tanda ini digunakan apabila ingin mengganti bunyi vokal 'a' menjadi 'eu'. Dengan menuliskannya di atas huruf yang diinginkan.
7. Tanda pengghilang bunyi vokal.
Tanda yang satu ini digunakan apabila ingin menghilangkan bunyi vokal pada suatu huruf. Dalam bahasa sunda tanda ini disebut pamaeh. Dengan menuliskannya dibelakang huruf yang diinginkan.
Bukan hanya itu, ada juga tanda-tanda yang digunakan sebagai penambah bunyi konsonan.
Seperti dibawah ini.
b. Tanda penambah Bunyi konsonan.
1. Tanda penambah bunyi 'ng'.
Apabila saat menuliskan aksara Sunda ada kata yang berakhiran 'ng' seperti 'kang', bisa hanya dengan menambahkan tanda ini. Dengan cara menuliskannya di bagian atas huruf yang diinginkan.
2. Tanda penambah bunyi '-r'.
Apabila saat menuliskan aksara Sunda ada kata yang berakhiran '-r' seperti 'kar', bisa hanya dengan menambahkan tanda ini. Dengan cara menuliskannya di bagian atas huruf yang diinginkan.
3. Tanda penambah bunyi '-r-'.
Apabila ingin menambah huruf 'r' ditengah huruf lain seperti 'kra', bisa hanya dengan menambahkan tanda ini. Dengan cara menuliskannya di bagian bawah huruf yang diinginkan.
4. Tanda penambah bunyi '-l-'.
Apabila ingin menambah huruf 'l' ditengah huruf lain seperti 'kla', bisa hanya dengan menambahkan tanda ini. Dengan cara menuliskannya di bagian bawah huruf yang diinginkan.
5. Tanda penambah bunyi '-y-'.
Apabila ingin menambah huruf 'y' ditengah huruf lain seperti 'kya', bisa hanya dengan menambahkan tanda ini. Dengan cara menuliskannya di bagian bawah huruf yang diinginkan.
6. Tanda penambah bunyi '-h'.
Apabila saat menuliskan aksara Sunda ada kata yang berakhiran '-h' seperti 'kah', bisa hanya dengan menambahkan tanda ini. Dengan cara menuliskannya di bagian belakang atas huruf yang diinginkan.
Nah, sekarang udah kenal kan sama Aksara Sunda?. Nggak kalah keren kok sama huruf-huruf negara tetangga kita.
PAMALI !
PAMALI!! "What the hell, apaan sih? Jadul banget sih, pakai pamali pamali segala. Kayak Orang tua jaman dulu ajah!"
Ya, mungkin itulah cerminan kata yang biasa diucapkan seupama ada seseorang yang berucap dibarengi oleh kata Pamali contohnya, "Ulah diuk dilawang panto, bisi jauh ti jodo" (jangan duduk di pintu, nanti jauh dari jodoh) padahal kalau di logika kan, kalau duduk di pintu itu bukan jauh dari jodoh tapi menghalangi orang yang hendak masuk. seperti itu sinopsisnya.
PAMALI, Wah, mulai berimajinasi tentang kata itu. Pamali, yah pamali, kata itu pasti selalu melekat pada setiap insan dari Suku Sunda atau bahkan dari Suku Lain yang besar hidup dan mati atau dalam bahasa sunda, hirup kumbuh, hurip jeung hirup di tatar Sunda. Pamali, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kalian akan menemukan kata Pemali yang artinya adalah pantangan atau larangan berdasarkan adat. Sedangkan dalam Kamus Basa Sunda kalian bisa mencari di kata Pamali yang artinya adalah “larangan sepuh anu maksudna teu meunang ngalakukeun hiji pagawean lantaran sok aya matakna”. Bisa menerjemahkannya? Ok, saya terjemahkan. Kurang lebih seperti ini “Larangan orang tua yang maksudnya adalah tidak boleh melakukan satu pekerjaan yang akan ada akibatnya”. Atau untuk menerjemahkan maksud kata – kata itu adalah, pamali merupakan sebuah larangan untuk melakukan atau mengucapkan sesuatu yang berakibat buruk bagi diri dan lingkungannya. Jika dilanggar, biasanya berhubungan dengan rizki, jodoh, keturunan dan keselamatan.
Pamali adalah Tradisi Lisan Khas Suku Sunda. Tradisi lisan seperti itu pernah dikenal dalam budaya lisan leluhur Sunda. Bahkan hingga kini masih ada sebagian masyarakat yang "percaya" terhadap tradisi lisan tersebut. Kalangan leluhur Sunda menyebut petuah-petuah seperti itu dengan satu kata yaitu "pamali". Kata pamali digunakan untuk mengatakan segala sesuatu yang bersifat tabu, jangan sekali-kali kita menanyakan mengapa ia bisa disebut pamali.
Pamali, biasanya berhubungan dengan sebuah kata lainnya yaitu Mitos, yang dianggap sebagian orang sebagai cerita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya berdasarkan rasio dan logika manusia, karena mitos adalah kumpulan cerita atau hal-hal yang dipercayai secara turun-temurun oleh suatu kelompok masyarakat tertentu.
Maka Mitos dianggap memiliki hubungan tertentu dengan kehidupan manusia di masa sebelumnya. Banyak orang tua yang sampai sekarang masih memegang teguh kepercayaan mereka tentang kebenaran sebuah mitos.
Tentu ada alasan yang kuat dibalik mitos yang mereka percayai itu. Alasan itu bisa merupakan hal yang sebenarnya atau hanya karena mereka sudah terbiasa hidup dengan mitos tersebut. Kadang-kadang kata pamali dan mitos jauh lebih ampuh dibanding dengan hukum atau aturan udang-undang. Jika kita telusuri alasan dibalik kata pamali, memang ada pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya.
Ada lagi sebuah kata yang erat dengan kata "pamali" dan "mitos", yaitu adat yang berasal dari Bahasa Arab. Adat artinya segala hal yang senantiasa tetap atau sering diterapkan kepada manusia atau binatang yang mempunyai nyawa.
Kata adat dipergunakan untuk menghaluskan perbuatan, perlakuan, yang membuat kebaikan dengan orang lain, yang sama adatnya dan tata cara pada umumnya. Dalam Bahasa Sunda ada istilah "kuat adat batan warah, ucing nyandingkeun paisan", yang artinya lebih kuat adat daripada pendidikan, seperti kucing mendampingi ikan, sebab pendidikan yang datangnya baru, walaupun sudah melekat dalam hatinya, kadang-kadang dilanggar, dan kembali lagi kepada adat kebiasaan asal yang dibawa secara kodrati.
Salah satu contoh kehidupan yang hingga kini masih memegang teguh kata-kata pamali, mitos dan adat, adalah komunitas Kampung Naga, Tasikmalaya. Salah satu keunikan Kampung Naga adalah pola hidup penghuninya, yang di jaman kini jarang ditemukan di daerah lain, yakni kehidupan yang selaras dengan alam.
Banyak di antara peneliti yang penasaran ingin mengetahui, apa rahasianya sehingga warga Kampung Naga mampu menjaga dengan baik hutan mereka, tanaman dan air yang ada di wilayahnya. Salah seorang sesepuh masyarakat di Kampung Naga, menyebut satu kata, yaitu: Pamali, itulah kata kuncinya.
Segala sesuatu yang dilarang untuk dilakukan di Kampung Naga berawal dari sebuah kata kunci tadi. Bagi masyarakat Kampung Naga, pamali merupakan larangan melakukan sesuatu yang dianggap tidak baik. Larangan itu berasal dari pemimpin dan nenek moyang mereka sebelumnya. Itu dipercaya serta dipatuhi oleh warga secara turun temurun hingga sekarang.
Pamali mengambil ikan dengan racun, pamali mengotori air sungai dengan sabun, pamai menebang pohon di hutan, merupakan beberapa contoh larangan yang diterapkan komunitas Kampung Naga. Orang Kampung Naga banyak sekali menggunakan kata pamali, mulai dari hal yang sepele sampai hal-hal yang besar. Dengan kata mujarab pamali inilah orang-orang di Kampung Naga menjaga kelestarian lingkungan hidupnya sampai ratusan tahun.
Tidak ada peringatan dilarang menebang pohon di tempat itu, tidak ada rambu larangan membuang sampah ditempel di pinggir sungai. Di sana memang tidak ada aturan tertulis, semuanya hanya diketahui dari mulut ke mulut. Menurut sesepuh Kampung Naga, sejak kecil anak-anak di sana sudah tahu apa-apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang harus dilakukan. Pengetahuan itu di dapat dari orang tua, kakek dan nenek mereka secara turun temurun.
Uniknya lagi, meski tidak ada peraturan yang jelas dan tertulis, tami semua orang menjadi patuh dan taat. Dengan peraturan pamali di Kampung Naga, tidak ada yang perlu ditanyakan lagi. "Kita tidak boleh bertanya lagi kenapa itu dilarang."
Ketaatan kepada pemimpin juga tak bisa ditawar-tawar. Sebagai masyarakat tradisional, orang Kampung Naga sangat patuh kepada pemimpinnya. Pemimpin dianggap orang suci yang memiliki kharisma.
Unsur kepercayaan banyak berpengaruh dalam interaksi sosial suatu kelompok masyarakat. Bahkan, unsur kepercayaan ini dapat menjadi ciri khas (tipikal) suatu masyarakat dalam melakukan interaksi sosial dan cara-cara masyarakat berkomunikasi. Hal ini mempengaruhi pula pola pikir suatu masyarakat tradisional bahkan masyarakat yang modern peradabannya. Kepercayaan tidak dapat dipisahkan dari nilai. Jika kepercayaan bersifat kognitif, maka nilai bersifat evaluatif.
Kepercayaan merupakan suatu pandangan-pandangan subyektif yang diyakini individu, bahwa suatu obyek atau peristiwa memiliki karakteristik-karakteristik. Budaya sangat memainkan peranan penting dalam membentuk suatu kepercayaan di tengah-tengah masyarakat. Kepercayaan dan nilai yang diyakini memberikan kontribusi bagi pengembangan isi sikap, yang kemudian diekspresikan dalam peristiwa komunikasi.
Jika kata "pamali" begitu diyakini "kebenarannya" oleh (katakanlah) sebagian masyarakat Sunda, karena ia merupakan sebuah tradisi budaya lisan leluhur Sunda, maka tentu boleh-boleh saja, jika kata-kata "pamali" mewarnai setiap himbauan atau larangan kepada masyarakat. Misalnya: "Pamali, membuang sampah di sembarang tempat", "Pamali, berjualan di tempat-tempat terlarang". "Pamali merokok di tempat umum", dan pamali-pamali lainnya. Tidak ada lagi pertanyaan: Mengapa tidak boleh ini dan mengapa tidak boleh itu. Karena jawabannya cukup satu kata: "Pamali!".
Ya, mungkin itulah cerminan kata yang biasa diucapkan seupama ada seseorang yang berucap dibarengi oleh kata Pamali contohnya, "Ulah diuk dilawang panto, bisi jauh ti jodo" (jangan duduk di pintu, nanti jauh dari jodoh) padahal kalau di logika kan, kalau duduk di pintu itu bukan jauh dari jodoh tapi menghalangi orang yang hendak masuk. seperti itu sinopsisnya.
PAMALI, Wah, mulai berimajinasi tentang kata itu. Pamali, yah pamali, kata itu pasti selalu melekat pada setiap insan dari Suku Sunda atau bahkan dari Suku Lain yang besar hidup dan mati atau dalam bahasa sunda, hirup kumbuh, hurip jeung hirup di tatar Sunda. Pamali, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kalian akan menemukan kata Pemali yang artinya adalah pantangan atau larangan berdasarkan adat. Sedangkan dalam Kamus Basa Sunda kalian bisa mencari di kata Pamali yang artinya adalah “larangan sepuh anu maksudna teu meunang ngalakukeun hiji pagawean lantaran sok aya matakna”. Bisa menerjemahkannya? Ok, saya terjemahkan. Kurang lebih seperti ini “Larangan orang tua yang maksudnya adalah tidak boleh melakukan satu pekerjaan yang akan ada akibatnya”. Atau untuk menerjemahkan maksud kata – kata itu adalah, pamali merupakan sebuah larangan untuk melakukan atau mengucapkan sesuatu yang berakibat buruk bagi diri dan lingkungannya. Jika dilanggar, biasanya berhubungan dengan rizki, jodoh, keturunan dan keselamatan.
Pamali adalah Tradisi Lisan Khas Suku Sunda. Tradisi lisan seperti itu pernah dikenal dalam budaya lisan leluhur Sunda. Bahkan hingga kini masih ada sebagian masyarakat yang "percaya" terhadap tradisi lisan tersebut. Kalangan leluhur Sunda menyebut petuah-petuah seperti itu dengan satu kata yaitu "pamali". Kata pamali digunakan untuk mengatakan segala sesuatu yang bersifat tabu, jangan sekali-kali kita menanyakan mengapa ia bisa disebut pamali.
Pamali, biasanya berhubungan dengan sebuah kata lainnya yaitu Mitos, yang dianggap sebagian orang sebagai cerita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya berdasarkan rasio dan logika manusia, karena mitos adalah kumpulan cerita atau hal-hal yang dipercayai secara turun-temurun oleh suatu kelompok masyarakat tertentu.
Maka Mitos dianggap memiliki hubungan tertentu dengan kehidupan manusia di masa sebelumnya. Banyak orang tua yang sampai sekarang masih memegang teguh kepercayaan mereka tentang kebenaran sebuah mitos.
Tentu ada alasan yang kuat dibalik mitos yang mereka percayai itu. Alasan itu bisa merupakan hal yang sebenarnya atau hanya karena mereka sudah terbiasa hidup dengan mitos tersebut. Kadang-kadang kata pamali dan mitos jauh lebih ampuh dibanding dengan hukum atau aturan udang-undang. Jika kita telusuri alasan dibalik kata pamali, memang ada pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya.
Ada lagi sebuah kata yang erat dengan kata "pamali" dan "mitos", yaitu adat yang berasal dari Bahasa Arab. Adat artinya segala hal yang senantiasa tetap atau sering diterapkan kepada manusia atau binatang yang mempunyai nyawa.
Kata adat dipergunakan untuk menghaluskan perbuatan, perlakuan, yang membuat kebaikan dengan orang lain, yang sama adatnya dan tata cara pada umumnya. Dalam Bahasa Sunda ada istilah "kuat adat batan warah, ucing nyandingkeun paisan", yang artinya lebih kuat adat daripada pendidikan, seperti kucing mendampingi ikan, sebab pendidikan yang datangnya baru, walaupun sudah melekat dalam hatinya, kadang-kadang dilanggar, dan kembali lagi kepada adat kebiasaan asal yang dibawa secara kodrati.
Salah satu contoh kehidupan yang hingga kini masih memegang teguh kata-kata pamali, mitos dan adat, adalah komunitas Kampung Naga, Tasikmalaya. Salah satu keunikan Kampung Naga adalah pola hidup penghuninya, yang di jaman kini jarang ditemukan di daerah lain, yakni kehidupan yang selaras dengan alam.
Banyak di antara peneliti yang penasaran ingin mengetahui, apa rahasianya sehingga warga Kampung Naga mampu menjaga dengan baik hutan mereka, tanaman dan air yang ada di wilayahnya. Salah seorang sesepuh masyarakat di Kampung Naga, menyebut satu kata, yaitu: Pamali, itulah kata kuncinya.
Segala sesuatu yang dilarang untuk dilakukan di Kampung Naga berawal dari sebuah kata kunci tadi. Bagi masyarakat Kampung Naga, pamali merupakan larangan melakukan sesuatu yang dianggap tidak baik. Larangan itu berasal dari pemimpin dan nenek moyang mereka sebelumnya. Itu dipercaya serta dipatuhi oleh warga secara turun temurun hingga sekarang.
Pamali mengambil ikan dengan racun, pamali mengotori air sungai dengan sabun, pamai menebang pohon di hutan, merupakan beberapa contoh larangan yang diterapkan komunitas Kampung Naga. Orang Kampung Naga banyak sekali menggunakan kata pamali, mulai dari hal yang sepele sampai hal-hal yang besar. Dengan kata mujarab pamali inilah orang-orang di Kampung Naga menjaga kelestarian lingkungan hidupnya sampai ratusan tahun.
Tidak ada peringatan dilarang menebang pohon di tempat itu, tidak ada rambu larangan membuang sampah ditempel di pinggir sungai. Di sana memang tidak ada aturan tertulis, semuanya hanya diketahui dari mulut ke mulut. Menurut sesepuh Kampung Naga, sejak kecil anak-anak di sana sudah tahu apa-apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang harus dilakukan. Pengetahuan itu di dapat dari orang tua, kakek dan nenek mereka secara turun temurun.
Uniknya lagi, meski tidak ada peraturan yang jelas dan tertulis, tami semua orang menjadi patuh dan taat. Dengan peraturan pamali di Kampung Naga, tidak ada yang perlu ditanyakan lagi. "Kita tidak boleh bertanya lagi kenapa itu dilarang."
Ketaatan kepada pemimpin juga tak bisa ditawar-tawar. Sebagai masyarakat tradisional, orang Kampung Naga sangat patuh kepada pemimpinnya. Pemimpin dianggap orang suci yang memiliki kharisma.
Unsur kepercayaan banyak berpengaruh dalam interaksi sosial suatu kelompok masyarakat. Bahkan, unsur kepercayaan ini dapat menjadi ciri khas (tipikal) suatu masyarakat dalam melakukan interaksi sosial dan cara-cara masyarakat berkomunikasi. Hal ini mempengaruhi pula pola pikir suatu masyarakat tradisional bahkan masyarakat yang modern peradabannya. Kepercayaan tidak dapat dipisahkan dari nilai. Jika kepercayaan bersifat kognitif, maka nilai bersifat evaluatif.
Kepercayaan merupakan suatu pandangan-pandangan subyektif yang diyakini individu, bahwa suatu obyek atau peristiwa memiliki karakteristik-karakteristik. Budaya sangat memainkan peranan penting dalam membentuk suatu kepercayaan di tengah-tengah masyarakat. Kepercayaan dan nilai yang diyakini memberikan kontribusi bagi pengembangan isi sikap, yang kemudian diekspresikan dalam peristiwa komunikasi.
Jika kata "pamali" begitu diyakini "kebenarannya" oleh (katakanlah) sebagian masyarakat Sunda, karena ia merupakan sebuah tradisi budaya lisan leluhur Sunda, maka tentu boleh-boleh saja, jika kata-kata "pamali" mewarnai setiap himbauan atau larangan kepada masyarakat. Misalnya: "Pamali, membuang sampah di sembarang tempat", "Pamali, berjualan di tempat-tempat terlarang". "Pamali merokok di tempat umum", dan pamali-pamali lainnya. Tidak ada lagi pertanyaan: Mengapa tidak boleh ini dan mengapa tidak boleh itu. Karena jawabannya cukup satu kata: "Pamali!".
Sunda Itu Apa Sih???
Kita sering mengetahui dan mengenal kata SUNDA. Satu etnis yang tinggal di belahan Barat Pulau Jawa. Lebih kita kenal Provinsi Jawa Barat. Tapi sudahkah kalian semua mengetahui asal mula kata Sunda itu sendiri? Saya yakin, kalian yang asli etnis Sunda pun belum tahu akan asal mula kata Sunda itu sendiri. Mungkin yang kalian tahu Sunda itu identik dengan Jaipongan dan Angklung atau Gamelan Degung. Oh kawan, kalian sangat menyesal kalau kalian benar - benar belum tahu Asal Kata Sunda itu. Ok, tak berlama - lama, ini data yang saya dapat dari Buku Kasundaan karya: Drs. H.R. Hidayat Suryalaga.
Basa Sansekerta (A Sanskrit-English Dictionary; Monierr Williams.- An Index to The Name in The Mahabarata; S. Sorensen. Sanskrit in Indonesia-Gonda)
1. Berakar kata sund, artinya bercahaya, terang benderang.
2. Salahsatu nama dari Dewa Wisnu yang mempunyai 1000 nama.
3. Nama salahsatu daitya, yaitu seorang satria raksasa dalam cerita
Upa Sunda dan Ni Sunda dalam sastra Adiparwa pada Epos Mahabharata.
4. Nama seorang satria wanara dalam Epos Ramayana.
5. Berasal dari kata cuddha, artinya putih.
6. Nama sebuah gunung pada masa silam yang berada di sebelah utara kota Bandung. Dikenal dengan nama Gunung Sunda yang terlihat putih karena diselimuti abu vulkanik (Gonda. 1973)
Basa Kawi (Kawi-Javaans Woordenbook; C.F. Winter Sr. – Java-Ned. Handwoordenbook; J.E.C. Gericke en T. Roorda. – Kawi-Balineesch- Nederlandsch Woordenbook. Dr. H.N.van der Tuuk. 1894)
1. Berarti Air
2. Berarti Tumpukan
3. Berarti Pangkat
4. Berarti Waspada
Basa Jawa (A Dictionary of The Sunda Language of Java; Jonathan Rigg)
1. Berarti Tersusun
2. Berarti Merangkap, menyatu
3. Berarti angka dua (2) dalam perhitungan candrasangkala/suryasangkala.
4. Berasal dari kata unda, artinya naik
5. Berasal dari kata unda, dalam arti terbang. (Ngapung)
Basa Sunda
1. Berasal dari sa-unda>sa-tunda, mengandung arti tempat menyimpan padi(Leuit)
2. Berasal dari kata Sonda, artinya bagus, indah.
3. Berasal dari kata Sonda, artinya senang.
4. Berasal dari kata Sonda, artinya unggul.
5. Berasal dari kata Sonda, artinya puas hati (Sugema)
6. Berasal dari kata Sonda, artinya setuju, sesuai dengan keinginan.
7. Dalam kata Sundara, artinya laki-laki yang tampan.
8. Dalam kata Sundari, artinya perempuan yang cantik rupawan.
9. Dalam kata Sundara, yaitu nama Dewa Kamajaya.
10. Artinya indah, molek.
Basa Kawi – Perancis (informasi dari DR. Viviane Sukanda Tessier dalam diskusi kebudayaan, Lembang 1990)
1. Artinya sangat indah dan subur (hejo ngemploh)
Basa Arab (Informasi dari Drs. H. Mansyur Suryanegara dalam dialog kebudayaan, Bandung, 1997)
1. Tersusun atas huruf Arab yang berasal dari SYIN (?) NUN (?) DAL(?) penamaan satu wilayah yang bergunung – gunung. Seperti kontur Tatar Sunda yang bergunung – gunung, termasuk Gunung Krakatau di selat Sunda dan palung Sunda.
2. Diartikan pula wilayah tempat orang kembali lagi. Karena mereka orang dari Timur Tengah akan kembali lagi ke Tatar Sunda untuk mendapatkan rempah – rempah.
Nah, itulah beberapa data yang saya dapatkan, anda baru tahu kan? Ayo manfaatkan ilmu untuk kemajuan peradaban tanpa melupakan Kebudayaan!!
Basa Sansekerta (A Sanskrit-English Dictionary; Monierr Williams.- An Index to The Name in The Mahabarata; S. Sorensen. Sanskrit in Indonesia-Gonda)
1. Berakar kata sund, artinya bercahaya, terang benderang.
2. Salahsatu nama dari Dewa Wisnu yang mempunyai 1000 nama.
3. Nama salahsatu daitya, yaitu seorang satria raksasa dalam cerita
Upa Sunda dan Ni Sunda dalam sastra Adiparwa pada Epos Mahabharata.
4. Nama seorang satria wanara dalam Epos Ramayana.
5. Berasal dari kata cuddha, artinya putih.
6. Nama sebuah gunung pada masa silam yang berada di sebelah utara kota Bandung. Dikenal dengan nama Gunung Sunda yang terlihat putih karena diselimuti abu vulkanik (Gonda. 1973)
Basa Kawi (Kawi-Javaans Woordenbook; C.F. Winter Sr. – Java-Ned. Handwoordenbook; J.E.C. Gericke en T. Roorda. – Kawi-Balineesch- Nederlandsch Woordenbook. Dr. H.N.van der Tuuk. 1894)
1. Berarti Air
2. Berarti Tumpukan
3. Berarti Pangkat
4. Berarti Waspada
Basa Jawa (A Dictionary of The Sunda Language of Java; Jonathan Rigg)
1. Berarti Tersusun
2. Berarti Merangkap, menyatu
3. Berarti angka dua (2) dalam perhitungan candrasangkala/suryasangkala.
4. Berasal dari kata unda, artinya naik
5. Berasal dari kata unda, dalam arti terbang. (Ngapung)
Basa Sunda
1. Berasal dari sa-unda>sa-tunda, mengandung arti tempat menyimpan padi(Leuit)
2. Berasal dari kata Sonda, artinya bagus, indah.
3. Berasal dari kata Sonda, artinya senang.
4. Berasal dari kata Sonda, artinya unggul.
5. Berasal dari kata Sonda, artinya puas hati (Sugema)
6. Berasal dari kata Sonda, artinya setuju, sesuai dengan keinginan.
7. Dalam kata Sundara, artinya laki-laki yang tampan.
8. Dalam kata Sundari, artinya perempuan yang cantik rupawan.
9. Dalam kata Sundara, yaitu nama Dewa Kamajaya.
10. Artinya indah, molek.
Basa Kawi – Perancis (informasi dari DR. Viviane Sukanda Tessier dalam diskusi kebudayaan, Lembang 1990)
1. Artinya sangat indah dan subur (hejo ngemploh)
Basa Arab (Informasi dari Drs. H. Mansyur Suryanegara dalam dialog kebudayaan, Bandung, 1997)
1. Tersusun atas huruf Arab yang berasal dari SYIN (?) NUN (?) DAL(?) penamaan satu wilayah yang bergunung – gunung. Seperti kontur Tatar Sunda yang bergunung – gunung, termasuk Gunung Krakatau di selat Sunda dan palung Sunda.
2. Diartikan pula wilayah tempat orang kembali lagi. Karena mereka orang dari Timur Tengah akan kembali lagi ke Tatar Sunda untuk mendapatkan rempah – rempah.
Nah, itulah beberapa data yang saya dapatkan, anda baru tahu kan? Ayo manfaatkan ilmu untuk kemajuan peradaban tanpa melupakan Kebudayaan!!
KERAJAAN SUMEDANG LARANG
Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan Islam yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-15 Masehi di Jawa Barat, Indonesia. Popularitas kerajaan ini tidak sebesar popularitas kerajaan Demak, Mataram, Banten dan Cirebon dalam literatur sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Tapi, keberadaan kerajaan ini merupakan bukti sejarah yang sangat kuat pengaruhnya dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, sebagaimana yang dilakukan oleh Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten.
Sejarah
Kerajaan Sumedang Larang (kini Kabupaten Sumedang) adalah salah satu dari berbagai kerajaan Sunda yang ada di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Terdapat kerajaan Sunda lainnya seperti Kerajaan Pajajaran yang juga masih berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu (Kerajaan Sunda-Galuh), namun keberadaan Kerajaan Pajajaran berakhir di wilayah Pakuan, Bogor, karena serangan aliansi kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak (Jawa Tengah). Sejak itu, Sumedang Larang dianggap menjadi penerus Pajajaran dan menjadi kerajaan yang memiliki otonomi luas untuk menentukan nasibnya sendiri.
1 Kerajaan Sumedang Larang 900 - 1601
2 Pemerintahan Mataram II 1601 - 1706
3 Pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) 1706 - 1811
4 Pemerintahan Inggris 1811 - 1816
5 Pemerintahan Belanda / Nederland Oost-Indie 1816 - 1942
6 Pemerintahan Jepang 1942 - 1945
7 Pemerintahan Republik Indonesia 1945 - 1947
8 Pemerintahan Republik Indonesia / Belanda 1947 - 1949
9 Pemerintahan Negara Pasundan 1949 - 1950
10 Pemerintahan Republik Indonesia 1950 - sekarang
Asal-mula nama
Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.
Pemerintahan berdaulat
1 Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang
a Prabu Guru Aji Putih 900
b Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela 950
c Prabu Gajah Agung 980
d Sunan Guling 1000
e Sunan Tuakan 1200
f Nyi Mas Ratu Patuakan 1450
g Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata 1530 - 1578
h Prabu Geusan Ulun / Pangeran Angkawijaya 1578 - 1601
2 Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan Mataram II
a R. Suriadiwangsa / Pangeran Rangga Gempol I 1601 - 1625
b Pangeran Rangga Gede 1625 - 1633
c Pangeran Rangga Gempol II 1633 - 1656
d Pangeran Panembahan / Pangeran Rangga Gempol III 1656 - 1706
3 Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan VOC, Inggris, Belanda dan Jepang
a Dalem Tumenggung Tanumaja 1706 - 1709
b Pangeran Karuhun 1709 - 1744
c Dalem Istri Rajaningrat 1744 - 1759
d Dalem Anom 1759 - 1761
e Dalem Adipati Surianagara 1761 - 1765
f Dalem Adipati Surialaga 1765 - 1773
g Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang) 1773 - 1775
h Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang) 1775 - 1789
i Dalem Aria Sacapati 1789 - 1791
j Pangeran Kornel / Pangeran Kusumahdinata 1791 - 1800
k Bupati Republik Batavia Nederland 1800 - 1810
l Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Napoleon Bonaparte 1805 - 1810
m Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte 1810 - 1811
n Bupati Masa Pemerintahan Inggris 1811 - 1815
o Bupati Kerajaan Nederland 1815 - 1828
p Dalem Adipati Kusumahyuda / Dalem Ageung 1828 - 1833
q Dalem Adipati Kusumahdinata / Dalem Alit 1833 - 1834
r Dalem Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja 1834 - 1836
s Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Soegih 1836 - 1882
t Pangeran Aria Suria Atmaja / Pangeran Mekkah 1882 - 1919
u Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga / Dalem Bintang 1919 - 1937
v Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria Sumantri 1937 - 1942
w Bupati Masa Pemerintahan Jepang 1942 - 1945
x Bupati Masa Peralihan Republik Indonesia 1945 - 1946
4 Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia
a Raden Hasan Suria Sacakusumah 1946 - 1947
5 Bupati Masa Pemerintahan Belanda / Indonesia
a Raden Tumenggung M. Singer 1947 - 1949
6 Bupati Masa Pemerintahan Negara Pasundan
a Raden Hasan Suria Sacakusumah 1949 - 1950
7 Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia
a Radi (Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia) 1950
b Raden Abdurachman Kartadipura 1950 - 1951
c Sulaeman Suwita Kusumah 1951 - 1958
d Antan Sastradipura 1958 - 1960
e Muhammad Hafil 1960 - 1966
f Adang Kartaman 1966 - 1970
g Drs. Supian Iskandar 1970 - 1972
h Drs. Supian Iskandar 1972 - 1977
i Drs. Kustandi Abdurahman 1977 - 1983
j Drs. Sutarja 1983 - 1988
k Drs. Sutarja 1988 - 1993
l Drs. H. Moch. Husein Jachja Saputra 1993 - 1998
m Drs. H. Misbach 1998 - 2003
n H. Don Murdono,SH. Msi 2003 - 2008
o H. Don Murdono,SH. Msi 2008 - 2013
Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)
Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Ia punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.
Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.
Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.
Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri
Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.
Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak, yaitu :
1. Pangeran Angkawijaya (yang tekenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
2. Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.
3. Kiyai Demang Watang di Walakung.
4. Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
5. Santowaan Cikeruh.
6. Santowaan Awiluar.
Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.
Prabu Geusan Ulun
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.
Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante). Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.
Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dam karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang.
Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas orang anak:
1. Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
2. Raden Aria Wiraraja, di Lemahbeureum, Darmawangi
3. Kiyai Kadu Rangga Gede
4. Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu
5. Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning
6. Raden Ngabehi Watang
7. Nyi Mas Demang Cipaku
8. Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
9. Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
10. Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
11. Nyi Mas Rangga Pamade
12. Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
13. Rd. Suridiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panemabahan Ratu
14. Pangeran Tumenggung Tegalkalong
15. Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).
Pemerintahan di bawah Mataram
Dipati Rangga Gempol
Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M Sumedang Larang dijadikannya wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' dirubahnya menjadi 'kabupatian wedana'. Hal ini dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan Kerajaan Banten dan Belanda, yang sedang mengalami konflik dengan Mataram. Sultan Agung kemudian memberikan perintah kepada Rangga Gempol beserta pasukannya untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.
Dipati Rangga Gede
Ketika setengah kekuatan militer kadipaten Sumedang Larang diperintahkan pergi ke Madura atas titah Sultan Agung, datanglah dari pasukan Kerajaan Banten untuk menyerbu. Karena Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.
Dipati Ukur
Sekali lagi, Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram untuk menyerang dan merebut pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta) yang pada akhirnya menemui kegagalan. Kekalahan pasukan Dipati Ukur ini tidak dilaporkan segera kepada Sultan Agung, diberitakan bahwa ia kabur dari pertanggung jawabannya dan akhirnya tertangkap dari persembunyiannya atas informasi mata-mata Sultan Agung yang berkuasa di wilayah Priangan.
Pembagian wilayah kerajaan
Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk memerintah di Sumedang. Sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis), oleh Mataram dibagi menjadi tiga bagian[2]:
* Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradegdaha/R. Wirawangsa,
* Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wirangun-angun,
* Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung Tanubaya.
Kesemua wilayah tersebut berada dibawah pengawasan Rangga Gede (atau Rangga Gempol II), yang sekaligus ditunjuk Mataram sebagai Wadana Bupati (kepala para bupati) Priangan.
Peninggalan budaya
Hingga kini, Sumedang masih berstatus kabupaten, sebagai sisa peninggalan konflik politik yang banyak diintervensi oleh Kerajaan Mataram pada masa itu. Adapun artefak sejarah berupa pusaka perang, atribut kerajaan, perlengkapan raja-raja dan naskah kuno peninggalan Kerajaan Sumedang Larang masih dapat dilihat secara umum di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang letaknya tepat di selatan alun-alun kota Sumedang, bersatu dengan Gedung Srimanganti dan bangunan pemerintah daerah setempat.
Sejarah
Kerajaan Sumedang Larang (kini Kabupaten Sumedang) adalah salah satu dari berbagai kerajaan Sunda yang ada di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Terdapat kerajaan Sunda lainnya seperti Kerajaan Pajajaran yang juga masih berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu (Kerajaan Sunda-Galuh), namun keberadaan Kerajaan Pajajaran berakhir di wilayah Pakuan, Bogor, karena serangan aliansi kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak (Jawa Tengah). Sejak itu, Sumedang Larang dianggap menjadi penerus Pajajaran dan menjadi kerajaan yang memiliki otonomi luas untuk menentukan nasibnya sendiri.
1 Kerajaan Sumedang Larang 900 - 1601
2 Pemerintahan Mataram II 1601 - 1706
3 Pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) 1706 - 1811
4 Pemerintahan Inggris 1811 - 1816
5 Pemerintahan Belanda / Nederland Oost-Indie 1816 - 1942
6 Pemerintahan Jepang 1942 - 1945
7 Pemerintahan Republik Indonesia 1945 - 1947
8 Pemerintahan Republik Indonesia / Belanda 1947 - 1949
9 Pemerintahan Negara Pasundan 1949 - 1950
10 Pemerintahan Republik Indonesia 1950 - sekarang
Asal-mula nama
Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.
Pemerintahan berdaulat
1 Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang
a Prabu Guru Aji Putih 900
b Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela 950
c Prabu Gajah Agung 980
d Sunan Guling 1000
e Sunan Tuakan 1200
f Nyi Mas Ratu Patuakan 1450
g Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata 1530 - 1578
h Prabu Geusan Ulun / Pangeran Angkawijaya 1578 - 1601
2 Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan Mataram II
a R. Suriadiwangsa / Pangeran Rangga Gempol I 1601 - 1625
b Pangeran Rangga Gede 1625 - 1633
c Pangeran Rangga Gempol II 1633 - 1656
d Pangeran Panembahan / Pangeran Rangga Gempol III 1656 - 1706
3 Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan VOC, Inggris, Belanda dan Jepang
a Dalem Tumenggung Tanumaja 1706 - 1709
b Pangeran Karuhun 1709 - 1744
c Dalem Istri Rajaningrat 1744 - 1759
d Dalem Anom 1759 - 1761
e Dalem Adipati Surianagara 1761 - 1765
f Dalem Adipati Surialaga 1765 - 1773
g Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang) 1773 - 1775
h Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang) 1775 - 1789
i Dalem Aria Sacapati 1789 - 1791
j Pangeran Kornel / Pangeran Kusumahdinata 1791 - 1800
k Bupati Republik Batavia Nederland 1800 - 1810
l Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Napoleon Bonaparte 1805 - 1810
m Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte 1810 - 1811
n Bupati Masa Pemerintahan Inggris 1811 - 1815
o Bupati Kerajaan Nederland 1815 - 1828
p Dalem Adipati Kusumahyuda / Dalem Ageung 1828 - 1833
q Dalem Adipati Kusumahdinata / Dalem Alit 1833 - 1834
r Dalem Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja 1834 - 1836
s Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Soegih 1836 - 1882
t Pangeran Aria Suria Atmaja / Pangeran Mekkah 1882 - 1919
u Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga / Dalem Bintang 1919 - 1937
v Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria Sumantri 1937 - 1942
w Bupati Masa Pemerintahan Jepang 1942 - 1945
x Bupati Masa Peralihan Republik Indonesia 1945 - 1946
4 Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia
a Raden Hasan Suria Sacakusumah 1946 - 1947
5 Bupati Masa Pemerintahan Belanda / Indonesia
a Raden Tumenggung M. Singer 1947 - 1949
6 Bupati Masa Pemerintahan Negara Pasundan
a Raden Hasan Suria Sacakusumah 1949 - 1950
7 Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia
a Radi (Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia) 1950
b Raden Abdurachman Kartadipura 1950 - 1951
c Sulaeman Suwita Kusumah 1951 - 1958
d Antan Sastradipura 1958 - 1960
e Muhammad Hafil 1960 - 1966
f Adang Kartaman 1966 - 1970
g Drs. Supian Iskandar 1970 - 1972
h Drs. Supian Iskandar 1972 - 1977
i Drs. Kustandi Abdurahman 1977 - 1983
j Drs. Sutarja 1983 - 1988
k Drs. Sutarja 1988 - 1993
l Drs. H. Moch. Husein Jachja Saputra 1993 - 1998
m Drs. H. Misbach 1998 - 2003
n H. Don Murdono,SH. Msi 2003 - 2008
o H. Don Murdono,SH. Msi 2008 - 2013
Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)
Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Ia punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.
Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.
Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.
Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri
Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.
Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak, yaitu :
1. Pangeran Angkawijaya (yang tekenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
2. Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.
3. Kiyai Demang Watang di Walakung.
4. Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
5. Santowaan Cikeruh.
6. Santowaan Awiluar.
Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.
Prabu Geusan Ulun
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.
Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante). Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.
Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dam karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang.
Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas orang anak:
1. Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
2. Raden Aria Wiraraja, di Lemahbeureum, Darmawangi
3. Kiyai Kadu Rangga Gede
4. Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu
5. Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning
6. Raden Ngabehi Watang
7. Nyi Mas Demang Cipaku
8. Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
9. Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
10. Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
11. Nyi Mas Rangga Pamade
12. Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
13. Rd. Suridiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panemabahan Ratu
14. Pangeran Tumenggung Tegalkalong
15. Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).
Pemerintahan di bawah Mataram
Dipati Rangga Gempol
Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M Sumedang Larang dijadikannya wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' dirubahnya menjadi 'kabupatian wedana'. Hal ini dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan Kerajaan Banten dan Belanda, yang sedang mengalami konflik dengan Mataram. Sultan Agung kemudian memberikan perintah kepada Rangga Gempol beserta pasukannya untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.
Dipati Rangga Gede
Ketika setengah kekuatan militer kadipaten Sumedang Larang diperintahkan pergi ke Madura atas titah Sultan Agung, datanglah dari pasukan Kerajaan Banten untuk menyerbu. Karena Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.
Dipati Ukur
Sekali lagi, Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram untuk menyerang dan merebut pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta) yang pada akhirnya menemui kegagalan. Kekalahan pasukan Dipati Ukur ini tidak dilaporkan segera kepada Sultan Agung, diberitakan bahwa ia kabur dari pertanggung jawabannya dan akhirnya tertangkap dari persembunyiannya atas informasi mata-mata Sultan Agung yang berkuasa di wilayah Priangan.
Pembagian wilayah kerajaan
Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk memerintah di Sumedang. Sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis), oleh Mataram dibagi menjadi tiga bagian[2]:
* Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradegdaha/R. Wirawangsa,
* Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wirangun-angun,
* Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung Tanubaya.
Kesemua wilayah tersebut berada dibawah pengawasan Rangga Gede (atau Rangga Gempol II), yang sekaligus ditunjuk Mataram sebagai Wadana Bupati (kepala para bupati) Priangan.
Peninggalan budaya
Hingga kini, Sumedang masih berstatus kabupaten, sebagai sisa peninggalan konflik politik yang banyak diintervensi oleh Kerajaan Mataram pada masa itu. Adapun artefak sejarah berupa pusaka perang, atribut kerajaan, perlengkapan raja-raja dan naskah kuno peninggalan Kerajaan Sumedang Larang masih dapat dilihat secara umum di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang letaknya tepat di selatan alun-alun kota Sumedang, bersatu dengan Gedung Srimanganti dan bangunan pemerintah daerah setempat.
Kamis, 25 Agustus 2011
PROFIL KARINDING MILITAN
Karinding Militan atau disingkat KARMILA merupakan grup kesenian yang memadukan waditra karinding, celempung , suling dan toleat, dengan alat musik karinding sebagai media ekspresinya. KARMILA atau karinding militan ini terbentuk pada 29 November 2009 dengan beranggotakan para mahasiswa UPI yang memiliki basic yang berbeda.
karinding militan yang orientasi utamanya mengapresiasi dan mengekspresikan budaya lokal, membuka diri kepada siapapun yang mempunyai kesamaan visi ,dan membuka diri untuk berkolaborasi dengan bidang seni yang lainnya (seni sastra ,seni rupa, seni musik tradisi, kontemporer maupun modern).
Single yang menjadi andalan dari Karinding Militan yaitu “Manunggaling Kawula Gusti”, dan sekaligus dijadikan video clip berupa visual art animasi.
Formasi terkini dari Karinding Militan, yaitu :
Ackay : Vokal
Kukuh : Vokal
Maull : Karinding
Alep : Karinding
Treshna : Karinding
Hulhul : Instrument alat tiup
Yudha : Celempung
Acef : Celempung
Abang : Celempung
MENGGAPAI SUNDA YANG TERBUKA
Menarik mencermati tulisan Yayat Hendayana di HU Pikiran Rakyat (20/2), ”Sunda, Menggapai-gapai Masa Depan” yang berangkat dari apresiasi terhadap latar diselenggarakannya seminar internasional tentang Reformasi dan Transformasi Kebudayaan Sunda, 9 dan 10 Februari 2011, di Jatinangor oleh Fakultas Sastra Unpad. Intinya Kang Yayat masih tetap melihat isu lama Ki Sunda sebagai entitas suku yang masih berada dalam kondisi terpuruk padahal Sunda adalah suku terbesar kedua setelah Jawa.
Hasil survei sosial ekonomi daerah (Suseda) 2009, menunjukkan dari 42.693.951 penduduk Jawa Barat, jumlah orang Sunda mencapai angka 74,6 persen atau 31,84 juta jiwa.Rendahnya tingkat produktivitas dan daya saing orang Sunda, baik secara regional maupun secara nasional, disebabkan kelemahan orang Sunda sendiri. Kemudian Kang Yayat menawarkan jalan keluar berupa reformulasi kebudayaan Sunda yang terdiri dari langkah-langkah (1) reseleksi, (2) redefinisi, (3) reorientasi, dan (4) reimplementasi.
Catatan saya adalah tanggapan tambahan dan ini nyaris absen dari telaah Kang Yayat padahal sangat penting dalam melihat Ki Sunda, yakni strategi dialog kebudayaan dari dua arah: luar dan dalam. Ini menjadi penting supaya gambaran Ki Sunda ke depan menjadi jelas bukan sekadar terus “menggapai-gapai”, apalagi sekadar terhipnotis kebanggaan masa lampau yang seolah mendapatkan tautan “ ilmiahnya” dari Prof. Arysio Santos dalamAtlantis The lost Continent Finnaly Found, serta buku Prof. Stephen Oppenheimer dari Oxford University yang berjudul Eden in The East
Sudah tidak disangsikan lagi bahwa kekayaan dan kejayaan sebuah budaya mengandaikan terpenuhinya dua hal. Pertama ke dalam dengan militansi pertahanan untuk melestarikan budaya yang dimiliki sekaligus pewarisan kepada generasi setelahnya; kedua, ke luar dengan cara mendialogan budaya yang miliki dengan budaya orang lain untuk mencari kemungkinan terciptanya akulturasi sehingga peluang pengkayaaan sebuah budaya menjadi terbuka.
Strategi dalam-luar ini mensyaratkan untuk dilakukan secara dialektis, sebab ketika salah satu saja yang digarap maka ketimpangan yang akan muncul. Ke dalam saja misalnya maka akan mengemuka apa yang disebut dengan budaya kurung batokeun yang pada gilirannya tidak akan mampu mengantisipasi serbuan budaya luar. Atau terus membuka jendela dari luar tanpa ada pertahanan budaya sendiri maka inilah yang akan rentat terjangkit apa yang dinamakan dengan jati ki silih ku junti.
Kearifan lama
Kalau kita membaca kearifan tradisional sesungguhnya ke dua agenda strategi ini dengan menakjubkan telah diperagakan manusia Sunda dahulu bahkan kebudayaan Sunda itu sendiri adalah merupakan hasil pergulatan akulturatif dengan Animisme, Dinamisme, Hindu, Budha, tradisi Jawa dan Islam. Sunda bukan datang dari langit secara tiba-tiba.
J. C. van Leur menyebut bahwa Hinduisme membantu mengeraskan bentuk-bentuk kultural suku Sunda. Khususnya kepercayaan magis memiliki nilai absolut dalam kosmologi orang Sunda. Kalau kita sepakat bahwa Haji Hasan Mustapa adalah filosuf Sunda terkemuka maka sesungghnya letak otentisitas refleksi pikirannya itu tidak semata digali dari budayanya sendiri (Sunda) tapi adalah buah ”dialog peradaban”: korespondensi dengan budaya luar dalam hal ini Arab yang kemudian horizon Arab itu didaur ulang serta disenyawakan dengan leuit budaya Sunda sehingga lahirlah makna baru yang mencerahkan yang dapat kita klaim sebagai budaya Sunda.
Bagi Hasan Mustapa, ketika kita melakukan ziarah budaya kepada bangsa lain, maka hal ini tidak kemudian otomatis larut dalam budaya itu dan kehilangan baju kultural yang kita pakai atau pindah cai pindah pilempangan tapi justru ‘orang lain’ dengan segala kekhasan kulturalnya adalah jembatan untuk memperluas horizon budaya yang kita miliki. Dalam istilahnya, kita hanya sebatas ”nguyang”.
Multikulturalisme
Multikulturalisme yang notabene merupakan fakta sosial yang tidak mungkin kita hindari sesungguhnya adalah kesempatan bagi setiap kultur untuk saling memberikan makna dengan pintu masuk dialog itu. Dialog lintas kultural menjadi sebuah keniscayaan. Dialog seperti ini hanya dimungkinkan manakala antar budaya yang berbeda dapat memperlakukan satu sama lain secara setara, tidak tersembunyi hasrat saling mendominasi dan beranggapan yang satu inferior dan yang lain superior.
Dialog budaya akan tidak memiliki makna ketika sebermula sudah dengan jumawa menobatkan diri sebagai yang paling baik. Moderatisme (siger tengah) dalam keterbukaan dialog etnik, inilah yang musti dikedepankan untuk menggapai Sunda masa depan.
Dalam tafsir Ignas Kleden, “Kebudayaan adalah satu proses linking dan delinking sekaligus. Saya menghubungkan diri dengan satu nilai, tapi saya juga bisa mengambil jarak dari nilai itu untuk masuk ke dalam nilai yang lain. Saya menghubungkan diri dengan sistem nilai, tapi saya juga berusaha melepaskan diri dari jebakan sistem nilai saya supaya saya bisa mengerti sistem nilai yang lain sementara waktu dengan benar.” Lanjut Ignas, “Biarpun kita baru belajar di dalam kebudayaan kita, tapi kalau kita memasuki kebudayaan yang lain, sebetulnya kita dituntut untuk mempelajari kembali. Itu berarti melakukan proses melupakan dulu apa yang sudah kita pelajari di dalam kebudayaan kita,” kata Ignas Kleden.
Fenomena keagamaan
Tentu saja, karena agama merupakan bagian dari sistem budaya, maka agama juga tidak kedap untuk didialogan. Justru intensitas dialog agama harus ditingkatkan sebab dalam sejarahnya keragaman agama kerap menjadi pemantik munculnya konflik.
Semakin sering dialog dilakukan, akan kian lebar pelung terciptanya keadaban. Sebaliknya, manakala absen maka kehidupan menjadi sangat tidak layak untuk dirayakan karena akan sangat sarat ketidaksantunan, intoleran, radikalisme dan penistaan kepada ‘mereka yang berbeda’ dan akhirnya akan muncul anggapan bahwa ‘orang/suku lain’ yang berbeda sebagai neraka seperti ditulis Jean paul Sartre (L’enfer c’est les autres: neraka adalah orang lain). Orang lain (suku lain) tidak disikapi sebagai bagian tak terpisahkan dari diri kita yang mempunyai tanggungjawab sama dalam ikhtiar membentuk peradaban yang egalitarian. Dialoglah yang akan menjadi jendela bagi tergelarnya apa yang disebut Gabriel Marcel dengan ’persekutuan tuntas’ di mana aku bertemu engkau menjadi kita di mana, “Kesempatan-kesempatan dan pertemuan dengan orang lain bukanlah merupakan fakta yang kontingen (jadi yang bersifat ada dan boleh tidak ada) melainkan fakta yang inheren pada cara kita bereksistensi yaitu berada di dunia, hidup di dunia” (Mathias Haryadi, 1999).
Dialoglah yang akan membuat Ki Sunda bisa memahami alasan mengapa membutuhkan suku/orang lain untuk dijadikan sekutu. Dialog menjadi syarat mutlak agar bisa bereksistensi. Kita membutuhkan L’autrui supaya kita mampu menjadi diri sendiri. Maksudnya, agar ki Sunda mengenal eksistensi dan keunikannya, perlulah ‘keluar dari diri’. Ini hanya mungkin kalau kita tidak menutup diri, melainkan harus berani mengenal dan dikenal suku lain, harus saling memahami dengan sikap empatik.
Dialog ini perlu saya beri catatan khusus kaitannya dengan kesundaan, karena dalam sepuluh tahun terakhir diakui atau tidak di tatar Sunda banyak terjadi kekerasan termasuk yang mengatasnamakan agama yang relatif tidak memberi peluang bagi tumbuhnya sikap toleran bahkan cenderung mempoisiskan ‘yang lian’ sebagai tersesat. Belum lagi aliran dengan agenda politik ideologis tersembunyi yang bergerak di bawah tanah yang lagi-lagi menjadikan Jawa Barat sebagai basis perjuangannya.
Seandainya penelitian Santos dan Oppenheimer, yang menunjukan tentang kehebatan masa silam etnik Sunda benar dan mengapa kini Ki Sunda mengalami degradasi sedemikian tajam dalam pergaulan antaretnis di tingkat nasional? Maka salah satu jawabannya Kang Yayat, adalah absennya tradisi dialog dan lebih luas lagi punahnya atmosfer intelektualisme di tanah Pasundan.
Hasil survei sosial ekonomi daerah (Suseda) 2009, menunjukkan dari 42.693.951 penduduk Jawa Barat, jumlah orang Sunda mencapai angka 74,6 persen atau 31,84 juta jiwa.Rendahnya tingkat produktivitas dan daya saing orang Sunda, baik secara regional maupun secara nasional, disebabkan kelemahan orang Sunda sendiri. Kemudian Kang Yayat menawarkan jalan keluar berupa reformulasi kebudayaan Sunda yang terdiri dari langkah-langkah (1) reseleksi, (2) redefinisi, (3) reorientasi, dan (4) reimplementasi.
Catatan saya adalah tanggapan tambahan dan ini nyaris absen dari telaah Kang Yayat padahal sangat penting dalam melihat Ki Sunda, yakni strategi dialog kebudayaan dari dua arah: luar dan dalam. Ini menjadi penting supaya gambaran Ki Sunda ke depan menjadi jelas bukan sekadar terus “menggapai-gapai”, apalagi sekadar terhipnotis kebanggaan masa lampau yang seolah mendapatkan tautan “ ilmiahnya” dari Prof. Arysio Santos dalamAtlantis The lost Continent Finnaly Found, serta buku Prof. Stephen Oppenheimer dari Oxford University yang berjudul Eden in The East
Sudah tidak disangsikan lagi bahwa kekayaan dan kejayaan sebuah budaya mengandaikan terpenuhinya dua hal. Pertama ke dalam dengan militansi pertahanan untuk melestarikan budaya yang dimiliki sekaligus pewarisan kepada generasi setelahnya; kedua, ke luar dengan cara mendialogan budaya yang miliki dengan budaya orang lain untuk mencari kemungkinan terciptanya akulturasi sehingga peluang pengkayaaan sebuah budaya menjadi terbuka.
Strategi dalam-luar ini mensyaratkan untuk dilakukan secara dialektis, sebab ketika salah satu saja yang digarap maka ketimpangan yang akan muncul. Ke dalam saja misalnya maka akan mengemuka apa yang disebut dengan budaya kurung batokeun yang pada gilirannya tidak akan mampu mengantisipasi serbuan budaya luar. Atau terus membuka jendela dari luar tanpa ada pertahanan budaya sendiri maka inilah yang akan rentat terjangkit apa yang dinamakan dengan jati ki silih ku junti.
Kearifan lama
Kalau kita membaca kearifan tradisional sesungguhnya ke dua agenda strategi ini dengan menakjubkan telah diperagakan manusia Sunda dahulu bahkan kebudayaan Sunda itu sendiri adalah merupakan hasil pergulatan akulturatif dengan Animisme, Dinamisme, Hindu, Budha, tradisi Jawa dan Islam. Sunda bukan datang dari langit secara tiba-tiba.
J. C. van Leur menyebut bahwa Hinduisme membantu mengeraskan bentuk-bentuk kultural suku Sunda. Khususnya kepercayaan magis memiliki nilai absolut dalam kosmologi orang Sunda. Kalau kita sepakat bahwa Haji Hasan Mustapa adalah filosuf Sunda terkemuka maka sesungghnya letak otentisitas refleksi pikirannya itu tidak semata digali dari budayanya sendiri (Sunda) tapi adalah buah ”dialog peradaban”: korespondensi dengan budaya luar dalam hal ini Arab yang kemudian horizon Arab itu didaur ulang serta disenyawakan dengan leuit budaya Sunda sehingga lahirlah makna baru yang mencerahkan yang dapat kita klaim sebagai budaya Sunda.
Bagi Hasan Mustapa, ketika kita melakukan ziarah budaya kepada bangsa lain, maka hal ini tidak kemudian otomatis larut dalam budaya itu dan kehilangan baju kultural yang kita pakai atau pindah cai pindah pilempangan tapi justru ‘orang lain’ dengan segala kekhasan kulturalnya adalah jembatan untuk memperluas horizon budaya yang kita miliki. Dalam istilahnya, kita hanya sebatas ”nguyang”.
Multikulturalisme
Multikulturalisme yang notabene merupakan fakta sosial yang tidak mungkin kita hindari sesungguhnya adalah kesempatan bagi setiap kultur untuk saling memberikan makna dengan pintu masuk dialog itu. Dialog lintas kultural menjadi sebuah keniscayaan. Dialog seperti ini hanya dimungkinkan manakala antar budaya yang berbeda dapat memperlakukan satu sama lain secara setara, tidak tersembunyi hasrat saling mendominasi dan beranggapan yang satu inferior dan yang lain superior.
Dialog budaya akan tidak memiliki makna ketika sebermula sudah dengan jumawa menobatkan diri sebagai yang paling baik. Moderatisme (siger tengah) dalam keterbukaan dialog etnik, inilah yang musti dikedepankan untuk menggapai Sunda masa depan.
Dalam tafsir Ignas Kleden, “Kebudayaan adalah satu proses linking dan delinking sekaligus. Saya menghubungkan diri dengan satu nilai, tapi saya juga bisa mengambil jarak dari nilai itu untuk masuk ke dalam nilai yang lain. Saya menghubungkan diri dengan sistem nilai, tapi saya juga berusaha melepaskan diri dari jebakan sistem nilai saya supaya saya bisa mengerti sistem nilai yang lain sementara waktu dengan benar.” Lanjut Ignas, “Biarpun kita baru belajar di dalam kebudayaan kita, tapi kalau kita memasuki kebudayaan yang lain, sebetulnya kita dituntut untuk mempelajari kembali. Itu berarti melakukan proses melupakan dulu apa yang sudah kita pelajari di dalam kebudayaan kita,” kata Ignas Kleden.
Fenomena keagamaan
Tentu saja, karena agama merupakan bagian dari sistem budaya, maka agama juga tidak kedap untuk didialogan. Justru intensitas dialog agama harus ditingkatkan sebab dalam sejarahnya keragaman agama kerap menjadi pemantik munculnya konflik.
Semakin sering dialog dilakukan, akan kian lebar pelung terciptanya keadaban. Sebaliknya, manakala absen maka kehidupan menjadi sangat tidak layak untuk dirayakan karena akan sangat sarat ketidaksantunan, intoleran, radikalisme dan penistaan kepada ‘mereka yang berbeda’ dan akhirnya akan muncul anggapan bahwa ‘orang/suku lain’ yang berbeda sebagai neraka seperti ditulis Jean paul Sartre (L’enfer c’est les autres: neraka adalah orang lain). Orang lain (suku lain) tidak disikapi sebagai bagian tak terpisahkan dari diri kita yang mempunyai tanggungjawab sama dalam ikhtiar membentuk peradaban yang egalitarian. Dialoglah yang akan menjadi jendela bagi tergelarnya apa yang disebut Gabriel Marcel dengan ’persekutuan tuntas’ di mana aku bertemu engkau menjadi kita di mana, “Kesempatan-kesempatan dan pertemuan dengan orang lain bukanlah merupakan fakta yang kontingen (jadi yang bersifat ada dan boleh tidak ada) melainkan fakta yang inheren pada cara kita bereksistensi yaitu berada di dunia, hidup di dunia” (Mathias Haryadi, 1999).
Dialoglah yang akan membuat Ki Sunda bisa memahami alasan mengapa membutuhkan suku/orang lain untuk dijadikan sekutu. Dialog menjadi syarat mutlak agar bisa bereksistensi. Kita membutuhkan L’autrui supaya kita mampu menjadi diri sendiri. Maksudnya, agar ki Sunda mengenal eksistensi dan keunikannya, perlulah ‘keluar dari diri’. Ini hanya mungkin kalau kita tidak menutup diri, melainkan harus berani mengenal dan dikenal suku lain, harus saling memahami dengan sikap empatik.
Dialog ini perlu saya beri catatan khusus kaitannya dengan kesundaan, karena dalam sepuluh tahun terakhir diakui atau tidak di tatar Sunda banyak terjadi kekerasan termasuk yang mengatasnamakan agama yang relatif tidak memberi peluang bagi tumbuhnya sikap toleran bahkan cenderung mempoisiskan ‘yang lian’ sebagai tersesat. Belum lagi aliran dengan agenda politik ideologis tersembunyi yang bergerak di bawah tanah yang lagi-lagi menjadikan Jawa Barat sebagai basis perjuangannya.
Seandainya penelitian Santos dan Oppenheimer, yang menunjukan tentang kehebatan masa silam etnik Sunda benar dan mengapa kini Ki Sunda mengalami degradasi sedemikian tajam dalam pergaulan antaretnis di tingkat nasional? Maka salah satu jawabannya Kang Yayat, adalah absennya tradisi dialog dan lebih luas lagi punahnya atmosfer intelektualisme di tanah Pasundan.
FESTIVAL DONGDANG PESTA RAKYAT BOGOR
Dongdang sendiri adalah kata dalam bahasa Sunda yang berarti wadah tempat hantaran barang yang dihias dan ditata seapik mungkin. Hantaran biasanya dibawa ketika ada hajatan atau peristiwa istimewa lain, maupun ritual adat tertentu, di mana makanan atau barang akan dipersembahkan kepada orang atau keluarga terhormat.
Dongdang berisi hasil bumi, produk kerajinan, serta makanan siap santap akan dipikul dan diarak sepanjang Jalan Raya Tegar Beriman, salah satu jalan utama di Cibinong, Bogor dengan diiringi kesenian musik khas Sunda.
Pemerintah daerah setempat telah mencanangkan festival ini sebagai bagian dari program "Visit Bogor 2011" yang tujuannya tentu saja menyuntikkan gairah hingga memajukan pariwisata daerah Bogor. Festival ini sendiri diharapkan dapat melibatkan sejumlah 2000 buah dongdang dari desa-desa di 40 wilayah kecamatan tersebut.
Saat itu juga secara resmi ditampilkan maskot Visit Bogor 2011 yakni Manuk Urang dan logonya, Kupu-kupu. Tagline Visit Bogor 2011 adalah Bogor - Land of Harmony.
KAIN TENUN BADUY SEBAGAI AMALAN TAPA
Dalam hal kehidupan duniawi, masyarakat Kanekes biasa berucap “sare tamba teu tunduh, madang tambah teu lapar, make tamba teu talanjang” artinya tidur sekedar pelepas kantuk, makan sekedar pelepas lapar, berpakaian sekedar tidak telanjang. Ungkapan tersebut sejalan dengan ajaran Sanghyang Siksakandang Karesian atau isi Kropak 630 “jaga rang hees tamba teu tunduh, nginumn twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan” artinya ingat kita tidur untuk sekedar pelepas kantuk, minum tuak sekedar pelepas haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah kita berlebihan. (Atja dan Saleh Danasasmita)
Kesamaan ucapan itu menunjukkan bahwa Kanekes masih mempunyai kaitan erat dengan tradisi masyarakat Sunda kuno. Kesederhanaan itu bukan disebabkan oleh ketidakmampuan ekonomi melainkan oleh ajaran hidup yang dianutnya. Untuk masyarakat Baduy kesederhanaan itu merupakan kewajiban yang harus dicoba diwujudkan dalam perilaku dan kenyataan hidup sehari-hari, karena perbuatannya sehari-hari itulah yang menjadi tapa masyarakat Baduy (iya twah iya tapa), sedangkan tapa itu menurut keyakinan mereka yang harus ditempuhnya. Sebagai masyarakat Baduy meninggalkan kesederhanaan berarti batal tapanya.
Kerja itu sama dengan tapa. Itulah makna perbuatan baik kepada kita. Buruk perbuatan buruklah tapa, cukup berbuat akan cukuplah tapa sempurna perbuatan akan sempurnalah tapa, karena perbuatan itu pulalah masyarakat Baduy berhasil dalam tapa. Makna dari tapa ialah orang harus tekun kerja (berladang), membuat benda keperluan sehari-hari, tidak bersaing antara sesama dan tidak hidup berlebihan semuanya sudah diatur karuhun.
Tidak ada hari tanpa bekerja baik pria maupun wanita, sesuai dengan posisi masyarakat Baduy, itulah makna dari tapa. Pria Baduy bekerja di ladang sedangkan wanita membuat kain tenun di rumah. Pekerjaan membuat tenun dilakukan pada saat menunggu waktu luang setelah para wanita Baduy mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Kegiatan membuat kain tenun merupakan bentuk amalan tapa, karena membuat kain tenun merupakan pemenuhan kebutuhan sandang. Kain tenun yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan sandang dibuat sangat sederhana dengan hanya menggunakan motif geometris.
PERKEMBANGAN RAGAM BATIK SUNDA
Batik Jawa Barat banyak menyerap pengaruh dari lingkungan sekitarnya, terutama Jawa Tengah, serta negara lain, seperti Arab, India, dan China. Corak, ragam, dan motif batik provinsi ini berjumlah lebih dari 3.000 jenis. Kebanyakan mengambil unsur kehidupan alam sekitar dan budaya tradisional.
Masyarakat Jabar sebenarnya sudah mengenal ragam corak kain dan batik sejak awal abad ke-16. Hal itu tertulis dalam naskah "Siksa Kandang Karesian" yang menyebutkan berbagai macam corak lukisan (tulis) dan kain. Meski tak ada peninggalan ragam kain atau batik masa itu, di Tatar Sunda ditemukan beberapa helai kain batik berusia sekitar 200 tahun.
Keberadaan batik kuno tak bisa dilepaskan dari kedatangan para pengungsi Perang Diponegoro tahun 1825-1830. Sebagian pengungsi adalah pembatik dari wilayah Banyumas, Jawa Tengah. Mereka memberikan pengaruh terhadap ragam dan corak batik di Tatar Sunda, khususnya Ciamis, Indramayu, dan Tasikmalaya.
Meski batik tumbuh sejak awal abad ke-19, kegiatan membatik di provinsi ini berkembang pesat pada abad ke-20, terutama di Cirebon, Indramayu, Ciamis, Tasikmalaya, dan Garut.
Di Cirebon, batik berkembang di Trusmi, sementara di Indramayu di Paoman. Batik di Tasikmalaya berkembang di Kecamatan Sukaraja dan Cipedes, sedangkan di Garut di Kecamatan Tarogong. Setiap daerah mempunyai corak dan motif tersendiri yang khas sehingga timbul sebutan trusmian, darmayon, tasikan, dan garutan.
Motif batik indramayu, misalnya, banyak mengambil unsur flora dan fauna yang menjadi ciri khas daerah pesisir. Batik indramayu umumnya sederhana, lugas, dan naturalis, tidak berpijak pada pakem-pakem tertentu seperti batik solo dan yogyakarta. Sementara itu, batik tasikmalaya tidak mengenal kelas dan status sosial.
Hal itu sesuai dengan keadaan sosial masyarakat Tasikmalaya yang tidak membedakan status sosial. Batik cirebon berkembang lebih tua seiring dengan perkembangan Kesultanan Cirebon. Motif batik cirebon banyak dipengaruhi ragam hias dari China, India, dan Arab. Hal ini terkait dengan sejarah Cirebon yang menjadi kota pelabuhan penting pada abad ke-15. Adapun motif garutan mengambil tema kehidupan masyarakat sehari-hari, antara lain kendi, capung, kupu-kupu, anyaman bambu, dan kurungan ayam.
BEDOG SUNDA
Jenis atau bentuk golok (bedog ) sunda sangat beragam, karena tiap daerah di Tatar Sunda memiliki variasi bentuk tersendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan, fungsi, dan karakteristik masing-masing masyarakat penggunanya.
Di Tatar Sunda ditemukan beberapa bentuk golok dengan nama yang sama namun bentuknya berbeda di daerah lain, serta sebaliknya bentuk golok yang sama tetapi memiliki sebutan nama yang berbeda di lain daerah.Pada tulisan ini nama sebutan dan bentuk golok menggunakan data dari golok sunda yang ada di Ciwidey Kabupaten Bandung Jawa Barat.
Berdasarkan kegunaan golok sunda dapat dibedakan menjadi dua, yaitu golok pakai/bedog gawé /pakakas, selanjutnya disebut dengan bedog gawé, dan golok sorén/golok silat/pakarang, selanjutnya disebut golok pakarang. Golok yang berupa pakarang digunakan untuk beladiri/berkelahi (silat) atau setidaknya sebagai ganggaman (pegangan) yang di-sorén dipinggang oleh para pendekar atau jawara (Banten, Betawi), oleh karena itu selalu memakai sarangka (sarung). Sedangkan bedog yang berupa pakakas ada yang memakai sarangka dan ada pula yang tidak.
Bedog Gawé
Berdasarkan fungsi dan penggunaannya bedog gawé dapat dikelompokkan menjadi :
Bedog Daging / Dapur
Bedog Kalapa
Bedog Pamilikan
Bedog Kebon
Bedog Sadap
Bedog Pamoroan
Golok Pakarang
Tidak ada perbedaan bentuk antara wilah bedog gawe dengan golok pakarang. Namun Golok pakarang selalu dilengkapi sarangka agar golok dapat di-soren. Golok pakarang umumnya dibuat sesuai dengan keinginan pemesannya, dibuat lebih halus, dan dihias (diberi ukiran).
Pakarang adalah senjata-senjata yang dibuat khusus untuk para raja dan petinggi-petinggi di lingkungan kerajaan. Dalam pembuatan pakarang tentu menggunakan bahan terbaik dan teknik khusus. Ciri fisik dari pakarang yang mudah terlihat adalah pamor pada bilah pakarang seperti keris, kujang dan golok. Pamor adalah bentuk logam hasil olahan dari pencampuran sejumlah jenis logam yang berbeda, yang ditempa dan dilipat menjadi satu sehingga menghasilkan tekstur/pola tertentu pada permukaannya. Pakarang yang menggunakan besi pamor akan lebih kuat dan awet karena besi hasil olahan ini telah ’matang’ dibandingkan dengan besi/ logam biasa. Unsur estetika pada golok pakarang lebih diperhatikan dibandingkan dengan bedog gawe yang lebih mengutamakan unsur fungsi. Penekanan pada unsur estetika atau ornamen tentunya sedikit banyak mengurangi fungsionalitas golok sebagai perkakas.
Golok pakarang berpamor tidak dijumpai sebanyak keris dan kujang, kemungkinan bentuknya yang besar dan sederhana kalah artistik dengan kujang dan keris, sehingga tidak banyak dibuat. Namun golok berpamor yang disebut dengan golok sulangkar masih dibuat dan dapat jumpai terutama di Ciomas Banten, walaupun pembuatannya hanya setahun sekali yaitu pada tanggal 14 Maulud penanggalan Islam.
KUJANG
Kujang adalah sebuah senjata unik dari daerah Jawa Barat. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari besi, baja dan bahan pamor, panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram.
Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata.
Menurut Sanghyang siksakanda ng karesian pupuh XVII, kujang adalah senjata kaum petani dan memiliki akar pada budaya pertanian masyarakat Sunda
Deskripsi
Kujang dikenal sebagai senjata tradisional masyarakat Jawa Barat (Sunda) yang memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti[siapa?] menyatakan bahwa istilah "kujang" berasal dari kata kudihyang (kudi dan Hyang. Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa. Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi.
Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit[rujukan?]. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406). Sementara itu, Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.
Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.
Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.
"Segala macam hasil tempaan, ada tiga macam yang berbeda. Senjata sang prabu ialah: pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk membunuh. Senjata orang tani ialah: kujang, baliung, patik, kored, pisau sadap. Detya yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengambil apa yang dapat dikecap dan diminum. Senjata sang pendeta ialah: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengerat segala sesuatu, Itulah ketiga jenis senjata yang berbeda pada sang prebu, pada petani, pada pendeta. Demikianlah bila kita ingin tahu semuanya, tanyalah pandai besi."
— Sanghyang siksakanda ng karesian pupuh XVII.
Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.
Bagian-bagian Kujang
Karakteristik sebuah kujang memiliki sisi tajaman dan nama bagian, antara lain : papatuk/congo (ujung kujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian punggung), tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak). Selain bentuk karakteristik bahan kujang sangat unik cenderung tipis, bahannya bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam.
Dalam Pantun Bogor sebagaimana dituturkan oleh Anis Djatisunda (996-2000), kujang memiliki beragam fungsi dan bentuk. Berdasarkan fungsi, kujang terbagi empat antara lain : Kujang Pusaka (lambang keagungan dan pelindungan keselamatan), Kujang Pakarang (untuk berperang), Kujang Pangarak (sebagai alat upacara) dan Kujang Pamangkas (sebagai alat berladang). Sedangkan berdasarkan bentuk bilah ada yang disebut Kujang Jago (menyerupai bentuk ayam jantan), Kujang Ciung (menyerupai burung ciung), Kujang Kuntul (menyerupai burung kuntul/bango), Kujang Badak (menyerupai badak), Kujang Naga (menyerupai binatang mitologi naga) dan Kujang Bangkong (menyerupai katak). Disamping itu terdapat pula tipologi bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan
Mitologi
Menurut orang tua ada yang memberikan falsafah yang sangat luhur terhadap Kujang sebagai;
Ku-Jang-ji rek neruskeun padamelan sepuh karuhun urang
Janji untuk meneruskan perjuangan sepuh karuhun urang/ nenek moyang yaitu menegakan cara-ciri manusa dan cara ciri bangsa. Apa itu?
Cara-ciri Manusia ada 5
1. Welas Asih (Cinta Kasih),
2. Tatakrama (Etika Berprilaku),
3. Undak Usuk (Etika Berbahasa),
3. Budi Daya Budi Basa,
5. Wiwaha Yuda Na Raga ("Ngaji Badan".
Cara-ciri Bangsa ada 5
1. Rupa,
2. Basa,
3. Adat,
4. Aksara,
5. Kebudayaan
Sebetulnya masih banyak falsafah yang tersirat dari Kujang yang bukan sekedar senjata untuk menaklukan musuh pada saat perang ataupun hanya sekedar digunakan sebagai alat bantu lainnya.
Minggu, 21 Agustus 2011
KAMPUNG NAGA
Sejenak terlintas dalam pikiran kita barangkali ketika mendengar nama Kampung Naga. Ternyata bentuk asli dari kampung tersebut sangat berbeda dengan namanya, dan gambaran kita tentang hal-hal yang berbau naga, karena tak satupun naga yang berada di sana. Kampung Naga hanyalah sebuah kampung kecil, yang karena para penduduknya patuh dan menjaga tradisi yang ada, membuat kampung ini unik dan berbeda dengan yang lain. Tak salah jika kampung ini menjadi salah satu warisan budaya Bangsa Indonesia yang patut dilestarikan.
"Kita semua, masyarakat disini memegang peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Moyang kita," kata Pak Atang salah satu guide yang menemani rombongan ke Kampung Naga. Walaupun dengan Bahasa Indonesia yang kurang begitu lancar, Pak Atang cukup bersemangat dan hangat memberikan jawaban-jawaban dari pertanyaan yang diajukan peserta rombongan. Pak Atang, adalah salah satu warga Kampung Naga yang harus keluar dari kampung tersebut, karena menikah dengan orang dari luar penduduk Kampung Naga. Begitulah salah satu peraturan yang ada di dalam kampung itu, bahkan ketika terjadi pernikahan antara muda-mudi dari kampung ini bisa jadi pasangan tersebut harus keluar dari Kampung Naga juga jika tidak tersedia tempat tinggal (rumah). Rumah di Kampung Naga jumlahnya selalu dipertahankan, yaitu tidak boleh kurang dan lebih dari 118 bangunan. dari 118 bangunan tersebut, sebanyak 108 bangunan adalah rumah penduduk, sisanya adalah bangunan masjid, ruang pertemuan dan rumah agung ( rumah besar ) yang tidak boleh ditempati oleh siapapun.
Penduduk Kampung Naga menganut agama Islam, yang dikombinasikan dengan kebudayaan setempat warisan dari nenek moyang dulu. Jumlah keseluruhan penduduk sekitar 325 orang, sebagian besar bertani dan berternak ikan. Tanaman pertanian yang ditanam biasanya adalah padi, jagung, sayur-sayuran dan apotik hidup. Tanah di kampung ini tergolong sangat subur, karena tekstur tanah yang miring, kemudian dibatasi oleh sungai, dan diapit oleh bukit - bukit yang lumayan terjal. Karena terletak di wilayah pegunungan, kondisi cuaca juga sangat membantu para petani di kampung ini, semua tanaman yang ditanam dapat tumbuh subur. Di belakang rumah penduduk, terdapat kolam-kolam ikan, berisi ikan lele, ikan mas dan ikan gurame, yang setiap waktu siap dipanen dan memberikan penghasilan lumayan buat para penduduk.
Keunikan dari rumah-rumah di Kampung Naga adalah semuanya beratap ijuk, dan menghadap ke arah kiblat. Letaknya berjajar dari atas ke bawah, hingga dari jauh terlihat putih dan hitam yang bertumpuk bagaikan tanaman jamur yang tumbuh subur. Kesuburan dan kedamaian memang sangat terasa ketika kita mulai menuruni tangga menuju kampung tersebut. Sebanyak 360 tangga harus kita lalui untuk menuju Kampung Naga ini, turunannya cukup tajam, sehingga kalau hujan saat turun kita harus cukup berhati-hati kalau tidak mau terpeleset dan jatuh ke jurang-jurang yang ada dibawahnya. Ketika menuruni tangga, sejauh mata memandang adalah sawah teras siring yang menghijau, sungai jernih melintas dan melingkar dibawahnya, terasa damai sekali. Sesekali gemercik air itu terdengar, diselingi oleh tiupan angin yang menusuk hati, sepertinya mengajak kita untuk merenung dan kembali ke masa lalu. Ketika berpapasan dengan penduduk setempat, mereka juga selalu melempar senyum kepada para tamu dan mengucapkan salam. Sepertinya tidak ada rasa keberatan dari mereka untuk dikunjungi, tapi sebagai tamu kita harus selalu menjaga kesopanan dan mentaati peraturan yang berlaku.
Tidak boleh berkata sembarangan, mematahkan ranting-ranting pohon, atau menganggu hewan-hewan yang ada disekitar adalah kearifan lokal yang harus dipatuhi oleh para pengunjung. Seperti dikatakan Pak Atang, "Di seberang sungai adalah hutan larangan, siapapun tidak boleh mengambil ranting pohon apalagi menebang pohon, bisa dikenai sangsi adat,". Logikanya adalah jika pohon-pohon tersebut ditebang tentunya sangat berbahaya, kemungkinan longsor dan banjir karena tekstur tanah yang miring, juga bisa terjadi putusnya rantai kehidupan di wilayah tersebut. Dari sisi lain kampung ini, yang berfungsi sebagai pembatas wilayah adalah adanya dua air terjun kecil dari atas bukit, yang berfungsi sebagai pengairan pada musim kemarau, dan mencegah erosi secara langsung dari bukit-bukit yang berada diatasnya. Cerita lain dari keajaiban air terjun tersebut adalah, kita tidak diperbolehkan mandi di air terjun tersebut ketika menjelang waktu maghrib, pasti akan kesurupan, boleh percaya atau tidak.
Ketika ada tamu datang, beberapa penduduk dewasa dan tua keluar dari rumah dan melihat rombongan, kebanyakan dari mereka tidak bisa berbahasa Indonesia. Dari keterangan Pak Atang, guide kami, mereka bertanya pada Pak Atang," selamat datang dan menanyakan rombongan dari berasaal dari mana," dalam bahasa sunda. Sore itu ketika rombongan kami datang, banyak para penduduk yang sedang menganyam kerajinan tangan. Hasil kerajinan tangan penduduk kampung ini, telah dijual ke berbagai kota di Indonesia, bahkan ke luar negeri, karena setiap hari ada saja wisatawan manca negara yang berkunjung ke sini. Lebih asyik lagi, para pengunjung juga diperbolehkan menginap di kampung tersebut untuk ikut menyelami kehidupan masyarakat Kampung Naga. Kita akan diajak kembali kepada kehidupan masa lalu, yang betul-betul asli. Bayangkan, listrik tidak boleh masuk ditempat ini, karena ditakutkan akan terjadi hubungan pendek dan bisa menimbulkan kebakaran. Kalau malam hari hanya pakai lampu teplok, sehingga kehidupan malam betul-betul terasa sepi dan meredup, terasa damai dalam hati.
Namun sayang, ditengah ketatnya aturan adat, ternyata para penduduk diperbolehkan untuk memiliki tv dengan mempergunakan tenaga accu. Hal ini tentu kontradiktif dan sangat berbahaya, karena media komunikasi tv malah bisa meruntuhkan kearifan lokal penduduk setempat. Disamping itu, pintu masuk Kampung Naga, juga sudah terkontaminasi dengan budaya-budaya dari luar yang kurang bagus. Terbukti waktu rombongan selesai berkunjung, kemudian ditempat parkir kita berhenti dan beristirahat di warung sekitar tempat parkir mobil. Ternyata pemilik warung tersebut, menghibur para pengunjung dengan lagu disco dan rock barat, terasa agak aneh memang. Karena tak jauh dari situ adalah sekumpulan penduduk yang ketat dalam menjaga aturan Nenek Moyang, dan di shelter terakhir tempat masuk dan keluar penduduk Kampung Naga kita akan disuguhi berbagai hal yang berhubungan dengan globalisasi. Akses yang sangat mudah ke Kampung Naga ini, karena berada ditepi jalan raya utama antara Garut dan Tasikmalaya juga menjadi ancaman lain terhadap keunikan dan kelestarian kampung adat ini. Untuk itu masyarakat setempat, pemda dan seluruh pihak terkait harus menjaga salah satu kekayaan budaya Bangsa Indonesia ini.
Jumat, 19 Agustus 2011
MENGENAL IKET SUNDA
Bocoran sedikit Gan. Iket yang saya punya ini pemberian almarhum kakek. Ketika masih kanak-kanak walaupun tak sering, saya pernah memakai iket. Biasanya pada saat hari kenaikan kelas di sekolah dasar (dulu mah disebutnya samen).
Dibawah ini ada beberapa nama dari cara memakai (bentuk) iket:
- Barangbang semplak, iket ini seperti barangbang (dahan kering) yang patah tapi masih nempel dipohon. Culannya hampir menutupi mata. Bagian atasnya terbuka (terlihat rambut). Bisanya iket model ini dulu dipakai oleh para jawara.
- Julang ngapak, bentuk iket ini seperti sayap burung terbang. Dipakai oleh para orang tua
- Kekeongan (di Banten disebut borongsong keong), bentuknya mirip seperti keong.
- Kuda ngencar, iket yang culanya dibelakang, ngampleh (tergerai) ke bawah. begitu mau ke bagian ujung (melengkung) naik lagi ke atas.
- Maung heuay, bentuk iket ini seperti mulut harimau yang sedang nganga (terbuka).
- Parekos nangka, bentuk iket ini sangat sederhana (basajan). Biasanya dipakai oleh orang yang tergesa-gesa.
- Porteng, iket yang culanya berdiri di depan, dan ujung-ujung kainnya digulung ke belakang.
- Talingkup, iket yang culanya didahi sampai menutupi mata. Talingkup artinya bisa menutupi.
Dari sebegitu banyak bentuk, saya cuma mengenal dua cara (bentukl).. Itupun saya tak tahu nama bentuk iket-nya.
Barangkali sobat-sobat punya gambar dari tiap-tiap bentuk iket, atau punya reperensi yang harus saya lihat? Saya tunggu kabarnya sobat.
MENGENAL FUNGSI DAN BENTUK KUJANG
Kujang identik dengan identitas dan eksistensi kebudayaan masyarakat Sunda. Orang Sunda tak bisa dipisahkan dengan kujang.
Menurut Anis Djati Sunda, berdasarkan Pantun Bogor, kujang mempunyai beberapa fungsi dan bentuk.
Kujang berdasarkan Fungsinya antara lain:
- Kujang Pusaka = kjang yang melambangkan keagungan
- Kujang Pakarang = kujang dipakai sebagai alat perang
- Kujang Pangarak = kujang yang dipergunakan dalam kegiatan upacara adat
- Kujang Pamangkas = kujang yang dipergunakan untuk keperluan bertani
Kujang berdasarkan bentuknya:
- Kujang Jago = kujang yang menyerupai ayam jantan (jago)
- Kujang Ciung = kujang seperti burung/manuk ciung
- Kujang kuntul = kujang yang hampir menyerupai burung bangau (kuntul)
- Kujang Badak = kujang yang bentuknya seprti badak
- Kujang Naga = kujang yang bentuknya menyerupai mitologi naga
- Kujang Bangkong = kujang bentuknya seperti katak
Ada juga bentuk kujang seperti wayang kulit yang menggambarkan sosok wanita. Bentuk dari kujang ini adalah simbol kesuburan.
Menurut beberapa sumber, kujang berasal dari kata kudihyang (kudi dan Hyang). Ada lagi yang menyebut kujang berasal dari kata Kudi yang ditukil dari bahasa sunda heubeul, yang mengandung arti pakakas (senjata) yang mempunyai kekuatan gaib, sakti, pusaka atau jimat, yang fungsinya untuk berjaga-jaga supaya terhindar dari segala macam mara bahaya.
Sumber lain menyebutkan kujang berasal dari kata Ku-Jang-Ji. Janji akan meneruskan yang dikerjakan oleh leluhur (karuhun) kita. Yang diteruskan bukan pekerjaan secara fisik, tetapi lebih mengarah kepada lima cara-ciri manusia Sunda: welas asih, anggah-ungguh, budi daya, budi basa, dan nyaliksik diri.
Kujang bukan sekedar alat yang dipakai untuk membersihkan semak belukar, dan dipakai melihat bintang jadi patokan bertani. Tetapi juga penuh dengan ajaran-ajaran tentang kemanusian.
Menurut Anis Djati Sunda, berdasarkan Pantun Bogor, kujang mempunyai beberapa fungsi dan bentuk.
Kujang berdasarkan Fungsinya antara lain:
- Kujang Pusaka = kjang yang melambangkan keagungan
- Kujang Pakarang = kujang dipakai sebagai alat perang
- Kujang Pangarak = kujang yang dipergunakan dalam kegiatan upacara adat
- Kujang Pamangkas = kujang yang dipergunakan untuk keperluan bertani
Kujang berdasarkan bentuknya:
- Kujang Jago = kujang yang menyerupai ayam jantan (jago)
- Kujang Ciung = kujang seperti burung/manuk ciung
- Kujang kuntul = kujang yang hampir menyerupai burung bangau (kuntul)
- Kujang Badak = kujang yang bentuknya seprti badak
- Kujang Naga = kujang yang bentuknya menyerupai mitologi naga
- Kujang Bangkong = kujang bentuknya seperti katak
Ada juga bentuk kujang seperti wayang kulit yang menggambarkan sosok wanita. Bentuk dari kujang ini adalah simbol kesuburan.
Menurut beberapa sumber, kujang berasal dari kata kudihyang (kudi dan Hyang). Ada lagi yang menyebut kujang berasal dari kata Kudi yang ditukil dari bahasa sunda heubeul, yang mengandung arti pakakas (senjata) yang mempunyai kekuatan gaib, sakti, pusaka atau jimat, yang fungsinya untuk berjaga-jaga supaya terhindar dari segala macam mara bahaya.
Sumber lain menyebutkan kujang berasal dari kata Ku-Jang-Ji. Janji akan meneruskan yang dikerjakan oleh leluhur (karuhun) kita. Yang diteruskan bukan pekerjaan secara fisik, tetapi lebih mengarah kepada lima cara-ciri manusia Sunda: welas asih, anggah-ungguh, budi daya, budi basa, dan nyaliksik diri.
Kujang bukan sekedar alat yang dipakai untuk membersihkan semak belukar, dan dipakai melihat bintang jadi patokan bertani. Tetapi juga penuh dengan ajaran-ajaran tentang kemanusian.
Kamis, 18 Agustus 2011
JAIPONGAN
Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam pertunjukan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.
Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat.
Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.
[sunting] Berkembang
Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari "Daun Pulus Keser Bojong" dan "Rendeng Bojong" yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian tersebut sempat menjadi perbincangan, yang isu sentralnya adalah gerakan yang erotis dan vulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apalagi setelah tari Jaipongan pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun pusat Jakarta. Dampak dari kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.
Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya "kaleran" (utara).
Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (serang sinden tapi tidak bisa nyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan ketika para penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).
Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada taahun 1980-1990-an, di mana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut, Iring-iring Daun Puring, Rawayan, dan Tari Kawung Anten. Dari tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari Jaipongan yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming Mintarsih, Nani, Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa Suryabrata, dan Asep.
Dewasa ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas keseniaan Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian ke manca negara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak mempengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut.Jaipongan yang telah diplopori oleh Mr. Nur & Leni
Jaipongan adalah sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan.
Langganan:
Postingan (Atom)