Tenun Baduy memang belum setenar tenunan dari wilayah lainnya di Indonesia, seperti tenun songket. Padahal, tenun Baduy tak kalah uniknya dengan kain khas Nusantara lainnya dan disukai hingga ke mancanegara. Sejumlah komunitas tenun nusantara pun mulai melirik tenun Baduy untuk dijadikan bahan baku fashion.
Tenun Baduy yang memiliki kekhasan unik baik dari segi bahan maupun warnanya, ternyata juga sudah pernah masuk ke pasar Eropa dan Timur Tengah, konon dari hasil tenun yang terbuat dari benang kapas warna hitam atau hitam bergaris putih, dan tekstur kainnya yang kasar, justru membuat peminat merasa nyaman dan cocok dengan cuaca di Eropa dan Timur Tengah.Walaupun kuantitas yang dipasarkan ke Eropa dan Timur Tengah masih tidak sebanding dengan permintaan pasar. Namun melihat kenyataan demikian temyata tenun Baduy asli Banten banyak digemari
Kini tenunan baduy mulai sedikit ada perubahan. Dahulu ukuran tenun baduy itu lebarnya hanya 90 centimeter, kini bisa dibuat sampai 150 centimeter. Kalau panjangnya kan ukuran sepanjang-panjangnya
Dengan ukuran yang baru tersebut, tenun baduy dapat dengan mudah dikreasikan menjadi produk fashion yang lebih bernilai tambah. Karena ternyata produk fashion berbahan baku tenun baduy juga dimulai diminati masyarakat luas. Selain program pembinaan, yang bisa dilakukan Disperindang Banten yakni segera mendaftarkan karya tenun Baduy Banten sebagai hak paten milik dan karya budaya asli Suku Baduy Banten.
Konformitas dalam Bentuk Penampilan
Konformitas dalam bentuk penampilan akan terlihat pada pakaian dan tampilan keseharian orang Baduy, serta permukiman atau rumah orang Baduy.
a) Pakaian dan tampilan keseharian orang Baduy. Pakaian Baduy Dalam berwarna putih dan hitam. Bahannya dibuat sendiri dari serat daun pelah yang ditenunkan oleh warga panamping. Lelaki tangtu menutupi tubuhnya dengan tiga bagian, yaitu: (1) ikat kepala berwarna putih (kecoklatan) yang sering disebut iket, telekung atau romal terbuat dari kain berbentuk segitiga, (2) baju berwarna putih, (3) sejenis kain sarung dengan panjang sekitar 30-40 cm, berwarna biru tua.
Baju yang dikenakan berlengan panjang, seperti kaos, tanpa kerah dan kancing. Sejenis kain sarung yang berfungsi sebagai penutup tubuh bagian bawah disebut aros, biasa dikenakan dengan cara dililitkan di pinggang kemudian diikat memakai tali dari kain, mirip ikat pinggang dengan ukuran sampai lutut. Lelaki Baduy Dalam (tangtu) tidak mengenakan celana dalam.
Adapun pakaian perempuan tangtu terdiri dari (1) kemben ’sejenis selendang’ yang digunakan untuk menutup tubuh bagian atas atau baju kaos dan (2) lunas atau kain untuk menutupi tubuh bagian bawah. Seringkali di kalangan orang tua, hanya menggunakan kain lunas saja. Perempuan tangtu juga tidak mengenakan pakaian dalam.
Pakaian Baduy Luar juga terdiri dari tiga bagian, (1) ikat kepala, (2) baju, dan (3) kain sarung atau calana komprang, sejenis celana pendek berukuran sebatas lutut. Warna khas pakaian warga panamping adalah hitam dan biru tua bermotif batik atau bergaris putih. Kain pakaian yang digunakan biasanya datang dari luar Baduy, seperti dari pasar Rangkasbitung, Tanah Abang Jakarta atau daerah lain yang kemudian di jahit dan ditenun sendiri.
Pakaian disebut jamang komprang atau mirip dengan baju orang tangtu hanya saja berkancing dan biasa memakai dua lapis, bagian dalam berwarna putih alami, sedangkan bagian luar berwarna hitam atau biru tua. Calana komprang yang dikenakan laki-laki Baduy Luar juga berwarna hitam atau biru tua.
Adapun pakaian perempuan Baduy Luar adalah kebaya berwarna biru dan kain dengan warna yang sama. Bahan pakaiannya juga diperoleh dari luar daerah. Namun, pakaian pada orang panamping baik lelaki maupun perempuan, hampir serupa dengan pakaian yang digunakan oleh masyarakat pedesaan di Banten umumnya. Keseragaman orang Baduy dalam berpakaian ini dilakukan karena:
Pertama, merupakan ajaran dari leluhur harus seragam. Kedua, ciri khas kelompok, kalau tidak seragam nanti tertukar antara orang Baduy dengan orang non Baduy dan intinya jangan sampai menyerupai penampilan orang luar. Ketiga, warna hitam-putih sebagai lambang dari waktu malam dan siang. Artinya manusia itu jangan terlalu banyak pikiran, sebab alam saja hanya ada dua pilihan: malam atau siang; ada senang, ada susah; ada gelap ada terang, dan itu abadi.
Baik orang tangtu maupun panamping tidak beralas kaki, hal ini dilakukan karena: Pertama, ketentuan mutlak leluhur jadi harus seragam. Kedua, kalau pakai alas kaki, nanti menghilangkan ciri khas Baduy. Ketiga, kondisi geografis dapat membuat alas kaki cepat putus, dan karena hutan, pakai alas kaki juga percuma karena kaki akan tetap kotor. Keempat, merasakan alam karena menggambarkan keseimbangan dan kelestarian alam
b) Permukiman orang Baduy. Berdasarkan observasi, rumah orang Baduy nampak seragam. Semua terdiri dari kayu, bambu, kiray “daun rumbia”, ijuk pohon aren, rotan dan batu yang diperoleh dari alam sekitar.
Permukiman masyarakat Baduy berbentuk panggung, oleh karenanya terdapat kolong antara lantai rumah dan tanah dengan ketinggian antara 50-70 cm untuk rumah di panamping dan 70 cm-1,5 meter untuk rumah di tangtu. Rumah orang Baduy besarnya sekitar 7X5 meter pada umumnya terdiri dari tiga bagian, yaitu sosoro dan tepas ’bagian luar’, imah dan musung ’bagian tengah’, serta parak ’bagian dapur’. Semuanya disekat dengan bilik. Lebih jelasnya rumah orang Baduy memeiliki ciri: 1) selalu menghadap utara-selatan, 2) tidak menggunakan tembok, kaca, dan paku, 3) tidak ada jendela. Untuk sirkulasi udara dan penerang ruangan, hanya terdapat lubang kecil pada bilik dinding rumahnya, 4) tidak memiliki pagar pembatas halaman rumah, 5) di tangtu atau Baduy Dalam, lahan yang digunakan membangun rumah tidak diratakan terlebih dahulu sehingga konstruksinya disesuaikan dengan struktur tanah. 6) di panamping atau Baduy Luar, tanah yang digunakan untuk membangun rumah, diratakan terlebih dahulu.